28. Jawaban

66 15 0
                                        

Acara hari itu hampir memasuki bagian akhir.

            Liv yang sebelumnya menjadi pembicara mengenai bahaya narkoba mengembalikan mikrofon pada MC dan sesi pertanyaan pun dibuka. Selain Liv, di atas panggung kecil itu duduk tiga orang lain yang masing-masing memiliki bahan pembicaraan penting. Bang Tony bahkan membagi kisahnya sebagai salah satu mantan pecandu yang akhirnya memilih untuk sembuh dan sudah hidup bebas dari barang terlarang itu selama tiga tahun.

            Sementara dari sisi kanan panggung, Langit sibuk memotret dengan kameranya. Beberapa kali dia menyorot Liv ketika cewek itu tidak menyadari. Sejak dulu, foto candid memang yang paling Langit sukai, terlebih jika objeknya orang yang dia kasihi. Adik kembarnya sering mengejek Langit dengan sebutan stalker, tetapi Langit selalu membantah sambil berkata orang yang dia foto akan melihat hasil fotonya. Lagi pula, foto-foto itu tidak dia gunakan untuk hal-hal jahat.

            Tanpa sadar, Langit menurunkan kameranya. Mengingat Pelangi masih menyebarkan rasa nyeri pada hatinya. Tak peduli berapa kali dia berusaha mengubah kenangan-kenangan mereka menjadi sesuatu yang tak lagi menyakitkan, tetap ada bagian dari dirinya yang tidak rela. Rasa bersalahnya belum terbayar tuntas.

            "Nah, sekarang satu pertanyaan terakhir. Siapa yang ingin bertanya?" ucap Dirga, pembawa acara siang itu. Meskipun tema pembahasan mereka tidak ringan, Dirga mampu menyelipkan beberapa lelucon sepanjang acara hingga suasana sedikit mencair.

            Beberapa tangan teracung ke udara, Dirga menatap berkeliling dan akhirnya memberi kesempatan pada cewek berwajah muram yang duduk di baris paling belakang. Langit memotret cewek itu selama proses pemindahan mikrofon dan harus menelan ludah ketika pertanyaan akhirnya tersuarakan.

            "Menurut kalian, apa yang bisa kita lakuin buat orang yang mau bunuh diri?" tanya cewek itu.

            Hening merayap setelahnya. Empat orang yang berada di atas panggung terlihat sedikit bingung karena pertanyaan yang cukup berbeda daripada biasanya. Memang sudah menjadi rahasia umum beberapa orang sengaja menggunakan narkoba untuk mengakhiri hidup, tetapi pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana" lebih sering disuarakan dibanding "apa yang harus dilakukan untuk mencegah".

            Dirga angkat bicara. "Wah, pertanyaannya berhasil bikin pembicara kita siang ini berpikir keras. Gimana? Siapa yang mau jawab?"

            Mengagetkan semua orang, bahkan dirinya sendiri, Langit mengacungkan tangannya ke atas. Dirga segera menghampiri Langit dan memberikan mikrofon, terlebih setelah melihat anggukan dari Liv. Teman-teman mereka dari komunitas anti narkoba mungkin tidak tahu, tetapi Liv tahu Langit mungkin orang yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan itu.

            "Saya Langit," ucap Langit memulai. "Dari peng ... ahem, maksud saya dari beberapa artikel yang saya baca, satu kesimpulan yang bisa ditarik mengenai cara mencegah bunuh diri adalah menjadi pendengar. Setelah itu, ajak orang bersangkutan untuk konsultasi pada ahlinya. Karena sehebat apa pun kita jadi pendengar, kita tetap nggak bisa 'menyembuhkan' orang yang punya keinginan bunuh diri. Ada terlalu banyak variabel, kemungkinan, karena pada dasarnya manusia itu sendiri adalah sebuah enigma."

            Seluruh perhatian benar-benar tertuju pada Langit. Di dalam aula itu bahkan tidak ada suara lain. Langit menoleh sesaat pada Liv, lalu kembali menghadap para peserta seminar yang mengenakan seragam putih abu-abu.

            "Untuk kalian yang lagi struggling, apa pun masalahnya, jangan takut. Kalian nggak sendirian. Jangan lupa kalau dari sekian banyak orang atau hal yang menyakiti kalian di dunia ini, pasti ada seseorang yang peduli. Coba buat bertahan demi orang itu dan kalian akan lihat kalau hidup bisa jadi lebih baik dari sebelumnya."

Langit melanjutkan, "Sedangkan untuk kalian yang kebetulan punya teman atau kerabat yang ada kecenderungan bunuh diri, jangan sampai bilang 'Kok, gitu? Lo nggak punya teman, ya? Kurang berdoa, ya?' atau 'Masa kayak gitu aja mau mati? Masalah gue dulu lebih berat...' dan semacamnya. Tolong, jangan bicara begitu. Karena kesanggupan setiap orang untuk nanggung beban beda, jadi hal paling sederhana yang bisa kalian lakuin adalah berhenti menghakimi. Kalau masih belum bisa bantu, minimal jangan tambah masalahnya."

            Setelah berhenti bicara, Langit menyerahkan mikrofon pada Dirga dan melangkah keluar dari aula. Liv bergegas mengikuti langkah cowok itu, tidak sempat peduli pada tatapan-tatapan penasaran dari sekitarnya. Yang dia tahu, Langit baru saja membagi sebagian besar beban hatinya dan cowok itu membutuhkan teman.

            Liv menemukan Langit di lapangan parkir. Cowok itu bersiap masuk ke dalam mobil.

            "Langit!" seru Liv. "Lo mau ke mana?"

            Langit membalikkan tubuh dan meremas rambutnya. "Maaf, Liv. Gue pasti bikin berantakan acara tadi dengan jawaban gue. Gue—"

            Ucapan Langit terhenti tatkala Liv melemparkan diri untuk memeluknya. Cewek itu melingkarkan tangan di pinggangnya dan menghela napas. Untung saja SUV yang terparkir di samping sedan Liv cukup menyembunyikan mereka dan memberi sedikit privasi.

            "Lo nggak bikin berantakan," jawab Liv yakin. "Gue bangga sama lo."

            Perlahan, Langit membalas pelukan Liv dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya masih memegang kamera. Seluruh tubuhnya seakan bergetar karena luapan kata yang dia suarakan tadi. Ada terlalu banyak kejujuran di dalamnya. Juga penyesalan. Rasa bersalahnya masih menghantui, tetapi kini Langit memiliki perspektif baru untuk menyikapinya. Dia memang tidak bisa membantu Pelangi, terlalu terlambat untuk menyelamatkan adiknya itu. Namun, masih ada kesempatan untuk membantu orang lain. Dan, Langit akan berusaha keras untuk membantu lebih banyak orang mulai dari sekarang.

            Pelaku bunuh diri hanya butuh seorang pendengar. Seseorang yang sungguh peduli. Mereka bukan pengecut. Mereka hanya tidak tahu bahwa masih ada jalan lain untuk hidup. Mereka hanya lupa bahwa ada banyak hal dalam hidup yang terlalu berharga untuk ditukar dengan kematian.

            "Langit?"

            "Hm?" gumam Langit seraya melepas pelukan. Dia tatap cewek di hadapannya lekat.

            Liv tersenyum. "Makasih karena sudah bertahan."

            Satu tangan Langit terangkat untuk menyentuh pipi Liv, lalu dia membalas, "Makasih karena sudah bikin hidup gue lebih baik daripada sebelumnya."

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang