20. Tidak Sama

59 11 0
                                    

Liv menghampiri Langit.

"Gue mau ngomong bentar," kata Liv tanpa basa-basi.

Langit mengangguk singkat. "Di mana?"

Liv menunjuk satu jarinya ke arah atas, lalu berjalan keluar dari kelas. Langit mengikutinya dua langkah di belakang. Begitu sampai di tempat pengecoran yang entah mengapa tidak juga selesai, Liv memainkan sebuah kerikil dengan ujung sepatunya.

"Kenapa?" tanya Langit.

Cewek di hadapannya tetap menunduk, meski jawaban lirihnya terdengar.

"Gue bingung," jawab Liv. "Menurut lo, gue harus ikut bokap atau nyokap gue?"

Hening. Langit tidak menjawab dalam waktu yang begitu lama, sampai akhirnya Liv mendongak dengan pandangan penuh tanya.

"Langit, lo dengar gue?" tanya Liv.

"Apa maksud lo?" balas Langit.

"Orang tua gue sepakat buat cerai," jelas Liv dengan tangan saling meremas di belakang punggungnya. "Semalam bokap gue jelasin soal pengaturan hidup kami setelah mereka cerai nanti. Gue bisa tetap tinggal sama Nyokap di rumah sekarang, atau ikut Bokap pindah ke rumah yang baru dia beli dekat pabriknya. Dan, siapa pun yang gue pilih, setiap weekend gue harus nginap di tempat yang nggak gue pilih. Nggak wajib sih, gue juga bisa nolak, tapi—"

"Orang tua lo mau cerai?" sela Langit dengan kening berkerut. "Dan, lo di sini, nanya sama gue di mana lo harus tinggal pakai tampang tenang. Apa yang salah sama lo?"

Liv mengerjap. "Memang apa yang salah?"

"Lo terima keputusan mereka buat cerai?" balas Langit.

"Ya," jawab Liv jujur. "Justru gue yang awalnya ngasih ide ke mereka."

"Lo ... apa?"

Cewek itu mengangkat bahu. "Gue pikir, lebih baik mereka pisah daripada mereka tetap sama-sama, tapi nggak bahagia. Gue—"

"Lo minta mereka cerai?"

"Yah, nggak persis begitu, tapi ... ya."

Langit menatap Liv dengan sirat tak percaya yang begitu jelas. Membuat Liv bingung. Namun, sebelum cewek itu bisa mengatakan apa pun, Langit sudah berbalik.

Dan, meninggalkannya.

"Langit!" Panik, Liv berusaha menahan cowok itu, tetapi yang ditahan justru mengibaskan tangannya.

"Langit, lo kenapa?" tanya Liv pelan. Terkejut dengan reaksi Langit.

"Seharusnya gue nggak pernah percaya sama lo," jawab Langit dingin. Kedua matanya membalas tatapan Liv tanpa ragu, dengan amarah menggelegak yang membungkam cewek itu seutuhnya.

Tanpa penjelasan lebih lanjut, Langit meninggalkan Liv seorang diri.

***

"Liv?"

Panggilan itu tidak digubris oleh Liv yang terus menatap piring makannya. Semua orang di meja makan kini lurus memandang cewek itu, tetapi yang dipandang tetap tidak merespons.

Diaz, yang duduk tepat di samping Liv dan sudah mengenal baik tabiat sahabatnya yang suka melamun belakangan ini, mengguncang bahu Liv.

"Oh! Kenapa?" tanya Liv dengan mata mengerjap kaget.

"Nyokap lo nanya, masakannya nggak enak?" sahut Diaz.

Liv segera menggeleng. Sedikit penyesalan menyelinap masuk ke hati cewek itu karena sudah membuat ibunya berpikir buruk tentang masakannya. Meski jelas, masakan ibunya tidak selezat yang sering dia makan di restoran, tetapi usaha ibunya adalah yang paling penting.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang