3. Vas yang Pecah

341 42 7
                                    

Liv membuka pintu dan berpapasan dengan Bi Marni, asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama sepuluh tahun di rumahnya. Wanita berusia empat puluh tahun itu bertubuh tambun, dengan rambut yang mulai memutih. Garis wajah ayunya masih terpatri jelas, sejelas keramahannya yang selalu membuat Liv merasa nyaman.

"Mau pulang, Bi?" tanya Liv.

"Iya, Neng. Sudah jam tujuh. Anak-anak saya pasti sudah teriak minta makan di rumah," jawab Bi Marni dengan senyum di bibirnya. "Neng kenapa baru pulang?"

Pertanyaan itu tidak mengganggu Liv, sebab Bi Marni memang baru bisa pulang jika dia atau kakaknya—Indra—sudah berada di rumah. Sedangkan kedua orang tua Liv selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan pulang cepat bisa dihitung dengan jari.

"Tadi keasyikan gambar di kafe depan kompleks, Bi. Memangnya Adra belum pulang?" balas Liv.

Bi Marni menjawab, "Sudah dari jam enam tadi, sih, tapi langsung masuk kamar. Waktu saya ketuk, katanya lagi nggak enak badan. Jadi, saya bikin bubur dulu. Ada di dapur ya, Neng. Nanti kasih ke Indra. Sekarang saya pulang dulu. Bahaya kalau anak-anak saya teriak kelaparan terlalu lama."

Liv membalas lelucon Bik Marni dengan senyum. Diam-diam dia bertanya dalam hati, seperti apa rasanya memiliki ibu yang selalu memasakkan makan malam? Seumur hidup, Liv tidak pernah merasakan masakan rumah. Yah, kecuali saat dia berkunjung ke rumah mendiang neneknya dulu. Sebenarnya bisa saja Liv meminta Bi Marni memasak untuknya, tapi jika hanya Liv yang makan, untuk apa? Pasti mubazir karena lebih banyak yang terbuang.

"Hati-hati, Bi. Sampai ketemu besok. Makasih, ya."

Bi Marni melangkah keluar dari rumah, meninggalkan Liv yang berdiri diam. Cewek itu memandang kosong pada rumahnya yang megah, tetapi hanya menghadirkan kehampaan. Meski sudah terbiasa, ternyata rasanya masih cukup mengganggu. Orang tuanya memang jarang berada di rumah. Mereka biasanya hanya bertemu saat sarapan, sedangkan ketika malam menjelang, mereka baru akan sampai di rumah saat jam hampir menunjuk dini hari.

Ponsel di saku rok Liv bergetar. Bibirnya tersenyum ketika melihat nama Diaz tercantum di layar.

"Ya?" sapa Liv.

"Ada orang di rumah?" tanya Diaz langsung. Baru saja Liv akan menjawab, suara di seberangnya sudah memotong. "Oke, salah pertanyaan. Mau makan di mana?"

Cowok itu sudah tahu kondisi rumah Liv yang selalu sepi, karenanya tidak jarang dia menemani Liv makan malam. Kadang Diaz akan membawa cewek itu makan di rumahnya, tetapi lebih sering mereka pergi makan ke restoran cepat saji.

"Ada Adra di rumah. Gue makan sama Adra aja," jawab Liv. Adra adalah nama panggilan kesayangan Liv untuk kakaknya. Perpaduan antara Aa dan Indra.

"Oh, gitu. Oke. See you tomorrow."

"See you, Di."

Liv memasukkan ponselnya kembali ke saku rok, lalu melangkah menuju lantai dua. Masuk ke kamarnya yang bernuansa kuning cerah, Liv meletakkan tas dan segera mengganti seragam sekolahnya dengan kaus juga celana pendek. Setelah itu, dia keluar untuk mengajak kakaknya makan malam.

"Adra!" seru Liv seraya mengetuk pintu kamar yang berada tepat di seberang kamarnya.

Pintu terbuka, menampilkan wajah Indra yang kusut serta rambutnya yang mencuat ke segala arah.

"Adra ngantuk, Liv. Kamu ngapain berisik?" ucap Indra parau. Tak lama, mulutnya terbuka. Dia menguap lebar.

"Adra kok tidur jam segini?" tanya Liv khawatir. "Beneran sakit, ya?"

"Cuma kecapekan," kilah kakaknya cepat.

Liv mengerjap. "Memang habis ngerjain tugas apa, sih? Menjajah kebebasan hidup banget. Atau karena sudah masuk semester lima, makanya tambah berat tugasnya?"

Hening. Indra tidak menjawab pertanyaan Liv. Dia justru mundur dan berniat menutup pintu, yang tentu saja langsung ditahan oleh adiknya.

"Adra! Jangan tidur dulu! Ayo, makan malam! Aku mau piza! Adra juga sudah dibikinin bubur sama Bi Marni!" Liv menarik satu tangan kakaknya. Tidak peduli pada wajah sebal yang ditunjukkan Indra.

"Kamu makan sendiri sana. Adra capek," balas Indra malas.

Selama sesaat, mereka terus tarik-menarik di ambang pintu kamar Indra. Liv bersikukuh ingin makan malam bersama kakaknya, hingga tidak menyadari mata kakaknya yang memerah. Liv memang terkenal sebagai cewek yang persisten. Dia akan melakukan apa pun, tanpa henti jika perlu, agar keinginannya terpenuhi.

Liv hampir bersorak kegirangan ketika kakaknya berhenti melawan. Namun, suara-suara dari lantai bawah menahannya.

"Liv, kamu dengar? Ada suara—"

PRANG!

Liv dan Indra membeku seketika. Keduanya bertatapan. Tanpa membuang waktu, mereka segera berlari menuruni tangga. Hanya untuk melihat orang tua mereka sedang berhadapan dengan ekspresi penuh amarah, berikut pecahan vas antik yang berserakan di lantai.

"Ayah...." panggil Liv.

Pria paruh baya itu langsung menoleh. "Jangan ke sini, Sunshine. Ada banyak pecahan kaca."

Liv mengalihkan pandangan pada ibunya, yang tetap terlihat cantik tanpa cela meski wajahnya merah menahan gusar. Rambutnya dicat cokelat gelap dan ikal di bagian bawah, membuatnya terlihat jauh lebih muda daripada usia sesungguhnya. Sementara matanya yang dihiasi kacamata minus lurus tertuju pada suaminya.

"Saya benar-benar nggak ngerti jalan pikiran kamu. Apa kamu harus sebodoh itu?" tanya ibunya.

Liv berjengit. Ibunya mungkin sering bertutur dengan nada dan ekspresi dingin, tetapi tidak pernah sekasar itu. Sementara ayahnya menghela napas.

"Jangan sekarang, Nida—"

"Lalu kapan?" sela Nida tajam. "Kamu selalu menghindar! Kamu—"

"Saya bilang jangan sekarang!" potong Julian tegas. "Apa kamu nggak lihat? Ada anak-anak di sini. Kalau kamu mau peduli, sedikit aja, jangan biarkan mereka terlibat dalam masalah konyol ini!"

Nida mendengus. "Konyol? Ya, bagi kamu semua ini konyol, karena bukan kamu yang jadi korban!"

"Nida!"

Nida mengatupkan bibirnya, lalu berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah cepat. Melewati kedua anaknya yang berdiri mematung, kemudian masuk ke kamar sambil membanting pintu.

"Ayah—"

"Ayah harus pergi. Jangan lupa makan, Sunshine," ucap Julian dengan senyum lemah.

Liv tidak bisa menahan diri lagi. Dia melangkah mendekat, berhati-hati menghindari pecahan kaca, tetapi ayahnya sudah membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari rumah. Meninggalkan Liv juga Indra yang berdiri bingung di belakangnya.

"Liv, ayo makan," ajak Indra. Satu tangannya merangkul bahu Liv.

Meski sudah sering melihat orang tuanya berdebat, bahkan saling mengabaikan sepanjang hidup Liv, memecahkan barang adalah hal baru. Mau tak mau, hal itu semakin membuat Liv tertekan. Cewek itu tahu keluarganya tidak sempurna, tetapi dia tidak pernah berpikir bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjelma menjadi teror. Melahirkan rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Sebelumnya hanya perang dingin, kini merambah pada penghancuran barang-barang. Sungguh, hal terakhir yang Liv inginkan adalah kedua orang tuanya saling menyakiti.

Nggak pernah ada cinta di antara mereka, batin Liv sedih.

Langkah kakinya terhenti begitu saja. Tiba-tiba Liv merasa sesak. Indra pun menghentikan langkah dan menarik adiknya ke dalam pelukan. Tanpa daya adiknya itu bersandar, sepenuhnya.

"Kamu masih punya Adra, Liv. Adra akan selalu ada di sini." Indra berbisik.

Liv membalas pelukan Indra, mengangguk pelan, dan helaan napas berat yang sarat akan kesedihan mengiringi pelukan itu. Beberapa saat kemudian, Liv mengurai pelukan dan menatap ceceran benda tajam di ruang tamu rumahnya.

"Kita beresin dulu sebelum makan, ya, Adra?" pinta Liv pelan.

Meski ingin menolak, Indra tak kuasa menghadapi wajah lesu adiknya. Akhirnya, Indra mengangguk dan malam itu, mereka berdua memunguti serpihan vas dalam diam. Berharap seperti bagian yang pecah dan mereka kumpulkan itu, keluarga mereka pun akan kembali bersatu.

Meski dalam bentuk yang tak lagi sama. 

***

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang