4. Tidak Lagi Utuh

367 48 5
                                    

Tetes-tetes air hujan terjun bebas membasahi pakaian Langit. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas rerumputan hijau, bibirnya masih menyunggingkan senyum lebar. Sementara gelak tawa yang berasal dari cewek di sisinya melingkupi mereka.

"Kita pasti dimarahin Oma," ucap cewek itu seraya memiringkan tubuh hingga menghadap Langit.

Langit menoleh, tetap berbaring dengan dua tangan terentang.

"Kamu, bukan kita," ralat Langit. "Main hujan-hujanan kan ide kamu. Aku korban di sini."

Cewek di sisi Langit mengerucutkan bibir, lalu tangannya terulur dan mulai menggelitik perut Langit. Sontak, Langit membalikkan tubuhnya, berusaha menghindar. Namun, cewek itu tidak mau menyerah dan dalam hitungan detik, mereka berguling di rumput dengan tawa berderai.

"Oke, kita! Kita!" seru Langit menyerah.

Cewek itu tertawa puas, sebelum akhirnya meletakkan kepalanya di perut Langit.

"Kamu tambah gendut," ucap cewek itu mengejek.

Langit menarik rambut cewek itu sebagai balasan. Diam-diam tersenyum memandangi sisi wajah orang yang saat ini berbaring bersamanya dengan kedua mata tertutup rapat.

"Aku suka hujan," ucap cewek itu. Masih dengan mata terpejam. "Aku suka laut. Aku bahkan suka shower di rumah. Karena rasanya masalah apa pun yang aku punya, luruh dengan sendirinya."

"Memang kamu punya masalah apa, sih? Paling berat juga bingung pilih baju setiap mau pergi," sahut Langit ringan.

Mata cewek itu terbuka perlahan. Ada rasa sakit yang nyata di sana, tapi ditepis secepat kedatangannya. Langit tidak sempat bertanya karena cewek itu bergegas bangun dan berseru.

"Yang sampai rumah belakangan harus cuci mobil seminggu!"

Langit bangkit berdiri dan ikut berlari dengan tawa mengiringi.

Semakin cepat langkahnya, semakin cepat pula hujan menghilang. Tiba-tiba saja kaki Langit berada di atas pasir dan pemandangan laut biru membentang. Hamparan air yang bergulung menyambut kedatangannya. Kini, terselip rasa nyeri di dalam tubuhnya, seakan ada tangan tak kasatmata yang berusaha menguras seluruh napas dari paru-parunya.

"Pelangi!"

Panggilan itu tak terjawab. Sejauh apa pun Langit melempar pandangan, cewek itu telah pergi. Tak bisa dia lihat lagi.

"Pelangi!"

Sia-sia saja teriakannya itu. Tak dia temukan jejak Pelangi, tak peduli seberapa keras dia mencari. Dalam balutan kemeja hitam, dia melanjutkan langkah menuju tempat istimewa mereka.

Ya, mereka. Sebelum hidup dengan kejam merenggut salah satunya dan meninggalkan Langit seorang diri.

Ketika sampai di tempat istimewa tersebut—sebuah pohon palem besar dengan batang pohon yang dijadikan tempat duduk di bawahnya—Langit terdiam. Sekelebat kenangan mengisi pikirannya, memporak-porandakan perasaannya.

Kenangan terakhir mereka. Saat matahari terbenam.

"Aku percaya. Akan ada akhir bahagia untuk kita. Entah kapan, tapi aku akan tetap percaya."

Suara itu menggema dengan jelas. Suara lembut yang selalu ditunggunya. Suara yang tidak akan pernah bisa dia dengar lagi seumur hidupnya.

Tanpa daya, Langit membiarkan gravitasi menarik tubuhnya. Membuatnya jatuh berlutut dengan rasa sesak tak tertahankan. Kenangan itu membawa memori-memori lain. Ingatan selama tujuh belas tahun, yang tidak hanya berisikan tawa, tetapi juga tangis, perdebatan, dan ... cinta.

If I were YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang