12

148 27 3
                                    


"Yo, udah pulang?" sebuah suara yang sudah familiar di telinganya terdengar saat Yoziel memasuki rumahnya. Dilihatnya Lian yang sedang berada di dapur. Bau harum masakan Lian tercium kemudian, membuat tubuh tegang Yoziel menjadi lebih rileks. "Kenapa kamu? Kayak habis dikejer hantu aja."

Yoziel mendengus. Bertemu salah satu anggota keluarga Albraham baginya sudah seperti bertemu malaikat pencabut nyawa. Bisa saja Yoziel mati esok pagi.

"Aku ketemu sama Albraham, kak. Ah, gak, lebih tepatnya dia yang nemuin aku."

Suara nyaring terdengar saat baskom besi yang dipegang oleh Lian jatuh membentur lantai, membuat Yoziel berlari kearah dapur. Takut bila yang lebih tua terluka.

"Kamu ketemu Albraham?" Belum sempat bertanya tentang keadaan yang lebih tua, Lian sudah lebih dulu memegang bahunya. Menatapnya penuh khawatir.

"Dia bilang apa?" lanjut Lian kemudian. Tangannya tak lepas dari pundak Yoziel. Menahan pemuda itu untuk menatap kedua mataya. "Dia nanya, dimana Nathan."

Lian berdecak, "Jadi, Albraham tau kalo Nathan ada sama kamu?" Yoziel mengangguk.

"By the way, orang yang ngejer aku di sekolah kemarin dan yang ngajak aku ngomong tadi, dia orang yang sama." Yoziel melepaskan kedua tangan Lian. Tangannya lalu meraih apel segar yang Yoziel percaya baru saja Lian beli. Ia mendudukan dirinya diatas meja makan sambil menunggu respon dari Lian. Menggigit apelnya sekali, menikmati rasa segar di rongga mulutnya.

"Albraham juga?" Lian berucap lirih. Entah kenapa ia terlihat sangat frustasi saat ini. Seandainya Yoziel tahu apa yang dilalui seorang Dolian Kim, ia pasti akan bersimpati padanya.

"Kamu jangan sekolah untuk beberapa hari, oke? Kita cari aman. Aku gak mau kamu kenapa-napa," ucap Lian seraya mencuci kol yang sedari tadi terendam di dalam baskom. Matanya menatapa keluar jendela, melihat Nathan yang kini sedang asik bermain dengan Awan di kebun belakang. "Gue ngelindungin satu bocah aja capeknya minta ampun. Dan sekarang gue juga harus ngelindungin lo. Hahhh."

Yoziel memiringkan kepalanya. Sepertinya ada yang salah.

"Ngelindungin aku? Maksudnya?"

Lian tersadar ia baru saja mengatakan isi hatinya secara gamblang. Menggeleng cepat, Lian mencoba menyembunyikan maksudnya.

"Eh, gak kok. Aku bercanda aja tadi, hahaha. Lupain aja, gak penting jugaan," Lian berucap cepat sebelum Yoziel semakin menaruh kecurigaan padanya.

Namun telat, Yoziel sudah terlanjur curiga.

"Kak, cerita atau aku beberkan ke orang-orang kalo Nathan sekarang ada di sini. Oh, atau aku bilang aja ke si Albraham?" ancamnya. Lian yang mendengar ancaman Yoziel mendengus pelan, lalu menatap Yoziel yang duduk di atas meja makan dengan santai. Dia sangat tahu kalau Yoziel tidak akan membeberkan keberadaan Nathan. Karena bagaimanapun juga, Yoziel peduli pada Nathan. Ya, meskipun dia tidak mau mengakuinya.

Melihat Lian yang sepertinya tidak termakan ancamannya, Yoziel memutar otak. Memikirkan ancaman lain yang mungkin akan membuat Lian membuka mulutnya. Ia menggigit bibirnya saat tak juga menemukan ancaman lain.

Sampai kemudian ia teringat sesuatu. Dirinya.

"Kak, aku bisa ke ruang radio di sekolah sekarang juga dan ngasih tau dunia kalo aku adalah anak mendiang selir Rosie yang dibicarakan."

Gerakan Lian yang mengaduk sayur di dalam penggorengan terhenti untuk beberepa detik. Senyum kemenangan merekah di bibir Yoziel, tapi luntur beberapa detik kemudian saat Lian malah melanjutkan kegiatannya.

Mendengus, Yoziel turun dari duduknya dan mulai melangkah menuju pintu. "Aku berani buat ngelakuin itu, kak. Kalo Kak Lian gak cerita, biar aku cari tau sendiri kenapa aku perlu dilindungi," ujarnya sambil melangkah mendekati pintu. Ia meraih hoodienya yang ia taruh diatas sofa. Mengenakannya kembali sebelum meraih gagang pintu.

Prince on HidingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang