22

156 20 0
                                    



"Nih. Minum."

Asta melirik pelan kopi kaleng yang terarahkan padanya, lalu mendengus saat melihat siapa yang berdiri di sisinya kini.

"Ambil aja, kenapa sih? Gak gue racun," omel Niel seraya membuka kaleng kopi di pegangannya. Setelah berhasil membukanya. Niel kembali mengarahkan kopi itu kepada Asta. Kali ini tak lupa Niel menempelkan kopi itu ke pipi pemuda itu, membuat korbannya berjengit. "Minum atau gue siram lo pake kopi?"

Mendecakkan lidah kesal karena sikap Niel, Asta akhirnya meraih kopi kaleng itu. Sedikit curiga mendapatkan kebaikan pemuda Albraham itu padanya. Namun akhirnya Asta meminum kopi itu dalam diam.

"Lo gak pulang?" Niel menoleh saat pemuda yang duduk di sampingnya itu bertanya. "Ayah lo gak nyariin lo?" lanjut Asta sambil menyeruput kopi kalengnya.

"Peduli setan. Gue mau nunggu Nathan sadar," balas Niel kemudian.

Asta yang mendengar jawaban Niel hanya mengangguk. Matanya kemudian terarah pada sebuah pintu yang dijaga ketat oleh orang-orang berpakaian serba hitam. Nathan ada disana.

"Lo beneran akrab sama Nathan atau itu cuma kedok doang?" tanya Asta dengan pandangan masih menatap pintu putih itu. Meskipun ia tak dapat melihat ekspresi Niel, tapi ia bisa merasakan ketegangan dari pemuda itu. Asta ingin tertawa rasanya.

"Kali ini apa yang diinginkan Albraham? Jadi anggota kerajaan 'kah?"

Asta menoleh saat tak mendapatkan balasan apapun dari Niel. Ia tersenyum mengejek saat mendapati pemuda itu menunduk sembari meremat kaleng kopinya.

"Lo telat kalo lo ngerasa bersalah sekarang. Gue udah terlanjur benci sama lo, Albraham."

Kaleng kopi di pegangannya ia remat hingga remuk, menyalurkan semua rasa bencinya kepada pemuda di sampingnya. Berdiri, Asta lalu melangkah mendekati tempat sampah yang ada di dekat mereka, hendak membuang kaleng kopinya.

"Titip salam buat Nathan kalo dia sadar nanti. Gue pasti gak bisa jenguk dia pas dia sadar," ucapnya sambil membelakangi Niel. Ia malas melihat raut muka pemuda itu. Rasanya jika ia berbalik saat ini juga, ia akan dibodohi sekali lagi.

"Gue minta itu aja, semoga lo sampein ke Nathan, ya, Nyel. Gue pulang."

Asta sadar dirinya memanggil pemuda itu dengan nama kecilnya. Ia sengaja. Ia ingin pemuda itu semakin dirundung rasa bersalah. Katakan bahwa ia jahat. Asta tak peduli.

Baginya, melihat pemuda Albraham itu tenggelam dalam penyesalan adalah sebuah obat untuk rasa sesak selama 3 tahun ini.

Biarkan. Biarkan dirinya menjadi jahat sekali saja.



***




Namanya Astanius Farell.

Anak bungsu dari keluarga Farell, keluarga yang kepala keluarganya di rumorkan akan dicalonkan menjadi Perdana Mentri oleh keluarga kerajaan.

Meskipun terlihat seperti keluarga yang strict dan menomor satukan nama baik keluarga, keluarga Farell tidaklah seperti itu.

Kepala keluarga Farell, Morgan Farell, adalah contoh nyata dari seorang ayah yang baik dan bijaksana. Ia menomor satukan keluarga dan yang pasti, ia sangat menyayangi anak-anaknya.

Jika keluarga di luar sana akan memaksa anak mereka untuk meraih nilai tertinggi di sekolah, maka Morgan hanya akan menepuk punggung anaknya dan berkata 'yang penting udah usaha'.

Prince on HidingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang