Eden ingat saat pertama kali ia bertemu Yoziel.
Saat itu umurnya baru 6 tahun dan Yoziel 5 tahun. Pertemuan mereka bukanlah pertemuan yang menarik, malah menurutnya pertemuan mereka sangat menyedihkan. Eden menatap mata bulat itu saat pemiliknya sedang menangis tersedu di bawah pohon rindang di tempat penitipan anak. Eden masih lengkap dengan baju seragamnya, mengulurkan es lilin yang ia beli di sebrang jalan.
Ketika Yoziel tidak mengambil es lilin yang ia beli, Eden tahu jika anak itu sangat sulit mempercayai orang lain. Maka ia ikut duduk, mendengarkan tangisan pemuda dengan baju yang terlalu besar di tubuhnya itu.
"Kenapa nangis?" tanyanya sambil menyesap pelan es lilin berasa stroberi di tangannya. Satu tangannya yang lain memegang es lilin berasa coklat yang sudah mulai meleleh. Eden menatap es lilinnya, kemudian kembali mengulurkannya kearah Yoziel dan kembali mendapat penolakan.
"Ada yang jahatin kamu?" tanyanya lagi namun tidak kunjung mendapat jawaban.
Eden menghembuskan nafasnya. Meneguk es nya yang mencair, Eden lalu bangkit berdiri. Tangannya menepuk pelan bagian belakang celananya. Menghempaskan debu yang mungkin menempel disana.
"Rumahmu dimana? Ayo pulang bareng! Kalo rumahku disana, ke arah jalan yang mendekati kota," jari kecilnya menujuk sebuah jalan yang akan mengantarnya ke rumah. Menunjukkan kemana arah rumahnya kepada yang lebih kecil. "Kalo rumah adik dimana?"
Eden terkesiap saat melihat wajah Yoziel ketika ia mengangkat wajahnya. Ia ingat bagaimana wajah kecilnya itu memiliki banyak luka. Dan saat itu juga, Eden membuat sebuah perjanjian pada dirinya sendiri. Ia berjanji akan menjaga anak kecil di hadapannya itu.
Perlahan tapi pasti, Eden berhasil masuk ke dalam hidup Yoziel. Bukan hal yang mudah mengingat Yoziel yang sangat sulit untuk mempercayai orang baru. Eden ingat saat pertama kali Yoziel memanggilnya dengan sebutan 'kakak', semalaman ia tidak bisa tertidur karena rasa bahagia yang membuncah. Itu adalah sebuah permulaan dari hubungan keduanya.
Mereka tumbuh bersama. Eden menepati janjinya menjaga Yoziel. Ia akan menolong saat anak-anak kalangan atas memukuli yang lebih kecil. Tapi, saat ia melawan dan balik memukul anak-anak itu, pihak sekolah selalu menyalahkan mereka. Berkata bahwa mereka anak yang kurang di didik orang tua, anak bar-bar, dan kata-kata lain yang menyakiti hati orang tuanya. Eden ingat saat itu ia menangis kencang karena Ibunya berlutut di hadapan orang tua anak yang memukuli Yoziel. Bukan salah mereka tapi kenapa mereka yang meminta maaf dan diperlakukan seperti sampah?
Eden yang baru berumur 9 tahun akhirnya paham bahwa statusnya sangat berpengaruh di masyarakat. Sejak itu, Eden kecil membenci kalangan atas.
"Kak Eden gak boleh gitu," kata Yoziel yang berumur 8 tahun saat Eden berkata bahwa ia membenci kalangan atas. "Kata Ibu, semua manusia itu sama aja. Mau dia kalangan atas ataupun bawah."
Eden merengut saat mendengar hal itu dari bibir terluka milik Yoziel, "Tapi mereka jahat! Kita gak salah kenapa kita yang disalahin? Kan mereka yang mukul terus aku pukul balik. Emang kamu gak marah, Yo?"
Yoziel menggeleng, membuat pipi tembamnya ikut bergerak. "Engga. Kan aku emang pantes dapet pukulan. Aku anak yang menjijikan."
Eden mendengar hal itu terucap dari bibir salah satu anak yang memukul mereka.
Anak haram. Anak seorang pelacur.
Eden memainkan rerumputan yang ada di dekat kakinya. Mencabuti rumput dan melemparkannya ke aliran sungai dangkal di dekat mereka.
"Apa aku emang anak haram?"
"Engga! Kata Ibunya Eden, gak ada yang namanya anak haram. Semua anak lahir karena buah cinta kedua orang tuanya. Kamu bukan anak haram. Ibunya Yoyo sayang sama Yoyo kan? Jadi Yoyo bukan anak haram. Paham?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince on Hiding
Ficción GeneralSaat Putra Mahkota memilih kabur dari kastilnya. Dan ada Yoziel yang harus tersiksa karena melindungi Putra Mahkota yang terlalu polos untuk dunia yang kejam. 'Siapa yang bersembunyi' adalah pertanyaan yang harus terjawab. . . . . . chenle and jisu...