Awan gelap menyelimuti matahari yang sedang bersinar dengan teriknya. Rintik hujan dan gemuruh perlahan terdengar. Kebanyakan orang akan langsung berlari mencari tempat untuk berteduh. Namun tidak untuk pemuda yang sedang berdiri di balkon kamarnya. Membiarkan angin dingin dan rintik hujan membasahi tubuhnya.
Nathan menatap tajam kebawah, memperhatikan bagaimana maid dan tukang kebun yang diperintahkan ibunya untuk mencabut semua mawar yang tertanam di taman itu berlari tunggang langgang mencari tempat berlindung.
Hatinya resah saat melihat hampir sebagian dari taman mawar itu sudah rata dengan tanah subur yang baru. Nathan tidak mengerti mengapa, semenjak ingatannya tentang selir Rosie kembali, Nathan tidak merasa dirinya membenci Selir Rosie. Melainkan merasa bersalah dan berterima kasih.
Ia sepenuhnya merasa bersalah kepada Michael dan Yoziel, karena dirinyalah penyebab kematian Ibu mereka.
"Your highness, the queen has asked you to join her for lunch."
Sebuah handuk lembut tersampir di bahunya. Nathan melirik singkat si asisten baru yang baru saja menyampirkan handuk itu di bahunya. Berdecih pelan, Nathan menyingkirkan handuk itu dari bahunya. Membiarkan handuk itu terjatuh ke atas lantai.
Suara helaan nafas halus terdengar, namun Nathan tidak peduli dan tetap diam di posisinya. Rintikan air yang semakin deras tidak membuatnya gentar. Bagi Nathan, berada di luar sini lebih menyenangkan daripada berada di dalam kamar. Kamar yang diberikan ibunya itu membuatnya sulit bernafas, bagaikan mengekangnya. Sungguh, ia merindukan kamarnya yang lama.
"Your highness, hujan semakin deras."
Nathan mendengus saat tidak merasakan rintik hujan diatas kepalanya. Dan benar saja, asistennya itu memayunginya dengan payung usang berwarna kuning.
"Pikirkan dirimu sendiri, orang asing."
Tangan Nathan menampik kasar payung yang dipegang asistennya itu hingga terjatuh. Asistennya terdiam, menatap Nathan sebentar sebelum berjalan mengambil payung itu dan kembali mencoba memayungi Nathan. Tentu saja Nathan mencoba kembali menjatuhkan payung itu. Dan tentu saja si asisten pribadi menang telak soal kekuatan.
"Masalahmu apa sih, North. Biarin aku sendiri!" bentak Nathan pada pria yang bernama North itu. Kelakuan North yang tidak mengindahkan bentakannya itu berhasil membuat Nathan mendelik kesal. Dari mana Ibunya itu mendapatkan orang semenyebalkan ini?
Namanya adalah Julian North. Nathan sangat mengenal pria itu. Pria yang selalu ada disisi ibunya dimanapun dan kapanpun sebagai seorang knight. Sejak dirinya dibawa kembali ke istana, Julian sudah menempel bagaikan perangko pada sebuah surat. Alias, tidak pernah meninggalkan sisinya. Nathan bertanya-tanya berapa yang ibunya berikan pada pria ini sampai mau melepaskan posisinya hanya untuk menjadi babysitter pemuda tanggung sepertinya.
Julian seperti sudah biasa mendengar kalimat tantrum Nathan, memilih mengabaikan perkataan Putra Mahkota itu. Dengan santai ia memayungi Nathan dengan payung yang sama. Tentu saja Julian mendapatkan dengusan kesal Nathan setelahnya.
"Look up and you'll understand," ucap Julian pelan diantara gemuruh dan suara rintik hujan. Pria dengan surai merah itu menatap Nathan sebentar lalu kembali menatap kearah depan. Mengisyaratkan agar Nathan melakukan apa yang ia pinta.
Nathan memutar bola matanya jengkel namun tetap mengikuti permintaan Julian.
Matanya memicing memperhatikan payung usang berwarna kuning itu, mencoba mencari tahu apa yang dimaksud oleh Julian. Nathan tertawa, dirinya merasa dibodohi oleh asistennya. Payung yang dipegang Julian hanyalah payung usang yang bahkan tidak akan bertahan bila diterpa angin sedikit saja. Lihatlah, beberapa rangka besinya sudah patah dan tidak mampu menopang kain diatasnya. Apa yang spesial dari payung usang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince on Hiding
General FictionSaat Putra Mahkota memilih kabur dari kastilnya. Dan ada Yoziel yang harus tersiksa karena melindungi Putra Mahkota yang terlalu polos untuk dunia yang kejam. 'Siapa yang bersembunyi' adalah pertanyaan yang harus terjawab. . . . . . chenle and jisu...