26

142 22 0
                                    



Michael masih tak juga menutup matanya barang sejenak saat matahari sudah membumbung tinggi di atas kepala. Jangan tanyakan sudah berapa kali Tristan mengancam pemuda itu untuk istirahat, pemuda itu memilih mengangkat tangan dan membiarkan Pangeran keras kepala itu merusak kesehatannya. Dia sudah lelah.

"Jaga kesehatanmu. Aku akan mengunjungimu nanti, ya?" ucap Michael pada orang di seberang telpon. "Kak, gak perlu. Cukup jaga Nathan aja. Aku udah baikan, kok. Hari ini aku udah siap untuk pulang."

Michael menghembuskan nafas frustasi, membuat Tristan yang sedang tiduran di sebelahnya menoleh, lalu kembali memejamkan matanya saat Michael hanya menggeleng pelan. Membiarkan Michael yang keras kepala itu mencoba melemahkan kekeraskepalaan adiknya, Yoziel.

Memang benarlah mereka berdua saudara.

"Gak, Yo. Kamu tetap harus di rumah sakit. Aku tau kamu sudah sehat, tapi dengan kamu ada di rumah sakit, itu bisa memudahkanku untuk jaga kalian berdua," balas Michael.

"Ada Keythan, Kak." Yoziel balik membalas dari seberang telpon.

Mendengar nama pemuda itu disebutkan membuat Michael memijit pangkal hidungnya. Perdebatannya dengan si asisten pribadi kembali muncul di pikirannya. Sangat sulit bagi Michael untuk sepenuhnya mempercayakan keamanan Yoziel kepada penerus Oreon itu.

"Sebenernya apa yang buat kakak ragu sama Keythan?"

Hening panjang. Michael tak ingin menjawab. Menurutnya Yoziel tak perlu tahu.

"Kakak tahu 'kan Keythan yang selama ini jagain aku? Dan aku baik-baik aja 'kan?" Yoziel menghela nafas pelan, "Bisa kakak beri rasa percaya kakak ke Keythan? Dia salah satu orang yang aku percaya, kak. Bisa, 'kan?"

Kesekian kalinya hari ini Michael menghela nafas karena orang yang sama.

Bukannya Michael tidak ingin untuk mempercayai Keythan Oreon, tetapi kejadian masa lalu membuatnya berpikir dua kali. Setiap dirinya memutuskan untuk percaya, tayangan ulang masa lalu menghentikannya. Percayalah, sejak Tristan mengomelinya tadi pagi, Michael mencoba untuk percaya. Tapi, sangat sulit.

"Kak?" Panggilan halus Yoziel membangunkan Michael dari lamunannya. "Oke, aku coba ya. Mungkin bakal sulit, tapi aku coba," balas Michael pasrah. Pada akhirnya, sang Adik memenangkan semuanya.

"Stick to him no matter what."

Tristan menepuk tangannya pelan, memberi apresiasi kepada Michael yang berani mengambil langkah yang menurutnya yang paling baik. Hei, pemuda Oreon itu bahkan berani mempertaruhkan nyawanya di bawah hujanan peluru demi melindungi Yoziel dan akan sangat aneh jika Michael masih ragu.

"Well done," puji Tristan dengan nada sediki menyindir kearah Michael yang baru saja menutup panggilannya dengan Yoziel. Tristan terkekeh pelan saat melihat Michael memutar bola matanya jengah sebagai balasan.

"Baik, aku akan berhenti menggodamu. Tapi, kamu mengambil keputusan yang tepat." Michael menyingkirkan tangan Tristan yang menepuk-nepuk bahunya pelan. Rasanya Michael sangat ingin mencakar wajah pongah si asisten pribadinya itu.

Michael menghela nafas kesekian kalinya pagi ini, lalu menyandarkan punggungnya yang lelah ke sandaran sofa. Kepalanya menengadah, menatap tinggi langit-langit mewah kamar rumah sakit sang adik. Lebih tepatnya, menatap chandelier kaca yang dengan anggun tergantung di tengah ruangan.

"Ini benar keputusan terbaik, kan?" tanyanya kepada satu-satunya sosok yang sejak kemarin tak meninggalkan sisinya itu. "Aku mengambil keputusan yang tepat, 'kan?"

"Ini bukan tentang keputusan terbaik atau tidak. Ini tentang kepada pihak siapa kamu harus percaya. Dan menurutku pihak kepolisian lebih bisa dipercaya daripada pihak lain yang kita pikirkan saat ini," jawab Tristan kemudian. "Kamu amat tahu akan hal itu, Pangeran."

Prince on HidingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang