【 Fantasy - Romance 】
Umji kira ia akan mati muda, namun ia malah bereinkarnasi di tubuh seorang Duchess yang sangat membutuhkan pertolongannya.
"Jadi, apa kau siap?"
"Oke, aku siap. Sangat siap! Hahahaha!"
Umji memberikan senyum manis kepada wanita...
Hati Zion terasa diremas ketika Arka menyebutkan nama dari sang mempelai wanita. Dirinya tak tahu pasti, namun hatinya mengatakan bahwa dia harus menghadiri pernikahan raja Sean.
"Aku akan menghadirinya," putus Zion, yang membuat Arka terhenyak di tempatnya. Pria itu tak sengaja bergumam 'Ah!' yang tentunya di dengar oleh Zion juga.
"Ada masalah?" tanya Zion dingin.
Arka buru buru berdehem dan meminta maaf. "Maafkan saya, duke Zion. Saya hanya tidak menyangka karena pada saat hilangnya duchess Lyra, anda akan bisa menyempatkan waktu Anda untuk menghadiri sebuah acara pernikahan."
Zion memelototi Arka sebentar, kemudian memijat pelipisnya yang sudah sakit.
"Pergi dan persiapkan kuda. Aku akan pergi ke Istana sehari lebih awal sebelum pernikahannya untuk memberi Yang Mulia hadiah," usir Zion sembari mengibaskan tangannya, kemudian membuka lembaran lembaran pekerjaan di depannya tanpa memedulikan Arka lagi.
Arka memberikan hormat, kemudian pergi dari ruang kerja Zion untuk melaksanakan perintahnya.
* * *
Hari itu pun tiba. Sehari sebelum pernikahan, Zion bersama dengan beberapa pengawalnya pergi ke Istana untuk memberikan hadiah secara langsung.
Di sisi lain, Lyra berjalan dengan tatapan kosong, dengan seorang pelayan yang menemani di belakangnya.
Sesampainya di taman, dirinya mendudukkan diri di salah satu kursi di taman itu. Ia baru sadar kalau taman ini terletak di samping jalan utama yang menghubungkan antara gerbang dan kastil.
"Anda ingin teh, Nona?" tawar pelayan di belakangnya. Lyra tak menjawab pertanyaan darinya. Sejak dirinya berbicara dengan Sean tempo hari itu, Lyra jadi jarang bicara dan banyak melamun.
Jika biasanya dirinya akan tersenyum bergaul dengan para pelayan dan penjaga kamarnya, maka sejak saat itu, Lyra berubah menjadi patung dan mengabaikan semua orang. Dirinya juga semakin kurus karena tidak memakan apapun sejak hari itu.
"Flyra."
Flyra tersentak ketika seseorang memanggil namanya. Suara itu. Suara itu ialah suara yang sangat ia rindukan selama beberapa hari ini. Suara itulah yang memberinya kenyamanan. Suara itulah yang memberikan dirinya kebahagiaan sejak dirinya dilempar ke dunia aneh ini.
"Apakah itu kau?"
Lyra tidak tahu sejak kapan ia menangis. Suara tersebut berada tak jauh di belakangnya. Namun, dirinya masih tak berani untuk berbalik.
Tanpa sadar, Lyra mencengkeram tangannya dengan kuat, tak sanggup untuk berkata kata.
"Flyra!" Suara itu terasa semakin dekat dan ia tak berhenti untuk mencoba memanggil namanya.
Saat Lyra berbalik, dirinya langsung diterjang oleh sebuah pelukan. Kehangatan menyebar diantara mereka berdua. Semua kenangan yang mereka berdua lakukan bersama langsung terpikir di kepala Lyra.
Para pelayan yang melihat adegan tersebut pergi untuk memanggil Sean dengan terburu buru.
"Aku akhirnya menemukanmu."
"Kau agak terlambat, Zion."
"Maafkan aku."
Zion mengeratkan pelukan mereka. Lyra dapat merasakan bahunya yang basah karena air mata Zion. Ah, rasanya baru kali ini dirinya melihat Zion menangis, apalagi ini karena dirinya.
Tiba tiba, Zion merasakan niat membunuh di belakangnya. Dengan kecepatan kilat, dirinya memindahkan tubuh Lyra dan tubuhnya sendiri ke samping. Matanya telah berhasil menangkap pergerakan anak panah yang hampir saja mengenai dirinya tadi.
"Apa yang kau lakukan dengan calon istriku!"
Mata Zion terbelalak. Dirinya segera melepaskan pelukan dari tubuh Lyra, dan menatap wanita tersebut seolah meminta penjelasan.
"Apa...."
Zion tak bisa melanjutkan perkataannya karena saking terkejut. Dirinya mengawasi Sean yang kini semakin mendekat ke arah mereka berdua.
Sean melihat Lyra dan tersenyum penuh arti, seolah mengatakan 'Apa kau ingin aku membunuhnya?' dan itu membuat Lyra gelisah.
Karena terlalu gelisah, Lyra memutuskan untuk pergi dari taman tanpa sepatah kata pun. Dirinya bahkan tidak melihat wajah Zion lagi dan menarik Sean untuk pergi bersamanya.
"Keputusan yang bagus," puji Sean dengan puas, sementara Lyra menatapnya dengan tajam.
"Maaf." Itu adalah kata terakhir yang didengar oleh Zion sesaat sebelum mereka berdua menghilang dari pandangannya.
Setelah kejadian tersebut, Lyra mengurung diri di kamarnya. Diirnya menangis dan tidak mau membukakan pintu untuk siapa pun.
* * *
Hari sudah malam, dan saat ini Lyra hanya termenung menatap bulan yang tampak di jendela kamarnya.
Namun tak disangka, Lyra tiba tiba saja mendengar suara siulan dari luar jendela. Dirinya merinding mendengar siulan nan halus itu. "Hantu kah?" gumam Lyra sembari menggosokkan tangannya pada lengannya sendiri.
"Hei, dibawah!" Mendengar perintah anonim tersebut, Lyra tanpa sadar langsung menengok ke bawah.
"Ah!" Lyra terperanjat kaget. Dirinya menatap sekeliling dengan waspada.
"Zion? Apa yang kau lakukan di sana? Cepat pergi! Nanti kau ditangkap!" bisik Lyra dengan panik.
Zion tersenyum untuk beberapa waktu, kemudian memanjat jendela kamar Lyra dengan mudah.
"Hei, kau berhasil meloncati jendela ini? Itu sangat mengagumkan. Tapi apa aku salah menganalisis yah? Bukankah ketinggian jendela ini sekitar empat meter dari bawah?" tanya Lyra masih dengan berbisik. Dirinya tak tahu apakah harus kagum panik disaat seperti ini.
"Sstt! Ayo pergi," ajak Zion cepat, kemudian langsung meraih tangan Lyra dan membawanya pergi dari Istana.
TBC.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.