Hari sudah pagi. Di sebuah ranjang sempit dan lusuh yang terbuat dari bambu dan kayu itu, terlihat seorang pria yang sedang merebahkan tubuhnya dan tersentak.
Dirinya berusaha untuk duduk dan bangun, namun karena luka yang kemarin dia dapat cukup banyak dan parah, pria itu tidak bisa bergerak dan hanya bisa menolehkan kepalanya saja.
Dilihatnya seorang perempuan yang terbaring lemah tak jauh dari ranjang yang sedang ia tempati saat ini.
"Cantik sekali dia."
Dirinya berusaha untuk bangun sekali lagi, namun sial, luka di kakinya bertabrakan dengan ranjang, membuatnya tak sengaja berteriak.
Perempuan yang tadinya masih tertidur itu pun bangun ketika dirinya mendengar suara jeritan seseorang.
"Apa? Apa aku telat bangun?" tanyanya gelagapan sendiri. Perempuan itu menggaruk rambutnya beberapa saat sembari menguap lebar.
Dirinya terbelalak kaget saat melihat seorang pria tak jauh di depannya yang berada di ranjang. Pria itu menatapnya dengan pandangan tertarik.
"Kenapa aku bisa ada disini?!" tanya perempuan itu panik sendiri.
Melihat sang perempuan yang panik sendiri, tak membuat si pria berusaha untuk menghentikannya, dan malah menikmati kepanikan sang perempuan di depannya ini.Beberapa menit kemudian, perempuan tersebut berhenti berteriak histeris. Dirinya memegang kepalanya yang berdenyut.
"Aduh, sial sekali hidupku ini," ucapnya menyalahkan diri sendiri.
Perempuan tersebut berdiri, kemudian menyambat sebotol air yang sudah diambilnya kemarin malam.
Setelah puas minum, dirinya memberikan sisa air tersebut kepada pria di depannya dan langsung disambut baik oleh pria tersebut.
Perempuan itu membantu sang pria yang masih tidak berdaya untuk duduk di tepi ranjang.
"Kukira kau tak akan kembali ke sini lagi," heran pria yang kini sedang berusaha untuk minum dengan air yang disodorkan oleh perrmpuan tersebut barusan.
"Aku kasihan denganmu, Paman."
Pria tersebut tersedak ketika sang perempuan malah memanggilnya dengan sebutan Paman. Dikira dirinya sudah setua itu apa?
Lelaki tersebut berdehem sebentar. "Aku Sean. Siapa namamu?" tanya Sean sekaligus memperkenalkan dirinya kepada perempuan tersebut.
"Lyra," jawab Lyra tak minat.
Sungguh moodnya sangat jelek saat ini.
Ia berpikir, apakah Zion akan mencarinya?
Atau apakah Zion akan marah karena dirinya tidak pulang semalaman?
Semoga saja Zion mencarinya sampai kesini, sehingga dia bisa pulang dan memeluk Zion saking rindunya. Mulai sekarang, ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak akan pergi ke festival lagi.
"Huaa~ Zion!!" Lyra menjerit tiba tiba. Dirinya tidak kuat lagi menahan segalanya. Tumpah sudah air mata yang ia simpan sejak tadi malam.
Sean berjingkit kaget saat Lyra berteriak. Ditambah lagi luka yang masih ia tanggung, membuat suasana disekitarnya menjadi sangat kacau.
"Aku ingin pulang!" teriak Lyra lagi sembari terisak di lantai.
Dengan gegabah, pria tersebut menarik Lyra yang berada di bawahnya untuk duduk di sampingnya.
Dirinya berusaha bersabar dan memaksa Lyra untuk bercerita mengapa dirinya sampai tersesat di hutan , dan meyakinkan Lyra bahwa dirinya akan membantunya.
Lyra pun segera menceritakan semuanya kepada pria yang berada di sampingnya ini. Kalau dilihat dari dekat seperti ini, Lyra memperkirakan bahwa umur Sean sekitar tiga atau empat puluh tahunan, terlihat dari kerutan yang berada di wajahnya, dan uban yang berada di rambutnya.
Namun karena tidak punya kumis, pria ini terlihat lebih muda lima tahun, itu saja. Sebenarnya ia sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Itulah informasi yang Lyra dapatkan selama bercerita dengan lelaki di sampingnya ini.
Setelah beberapa jam keduanya saling bercerita, Sean menawarkan bantuan untuk pulang bersamanya.
"Benarkah? Jadi sebenarnya kau tidak tersesat, ya?" tanya Lyra terkejut. Dirinya membuat ekspresi yang sangat menggemaskan, membuat pria yang berada di depannya ini mengumpat dalam hati karena tidak tahan dengan kelucuannya.
"Y-ya, sebenarnya aku hanya menghindar dari serangan musuh kemarin. Untung saja ada dirimu, jika tidak maka aku mungkin saja sudah tidak bernyawa saat ini," kata sean sembari berusaha untuk membungkuk sebagai tanda terima kasih.
Dirinya berhasil menunduk, namun ia sedang menahan mati matian rasa sakit akibat tusukan yang ada di perutnya itu.
"Sakit sekali, sial!" gumam Sean sepelan mungkin.
Lyra yang tadinya memerah karena pujian dan sikap Sean, menyengritkan dahinya saat mendengarkan gumaman Sean yang tidak terlalu jelas di telinganya.
"Maaf, apa anda mengatakan sesuatu, tuan Sean?" tanya Lyra formal.
Sean sudah tidak menunduk lagi setelah mengutarakan isi hatinya tadi, kemudian menggeleng sekuat tenaga seperti orang yang sedang ketahuan.
"Ah, tidak tidak. Aku tadi hanya sedang menghapal namamu, hahaha," dalihnya tetap berusaha untuk terlihat keren di depan Lyra.
Tiga hari telah berlalu bagaikan neraka bagi Lyra. Satu jam dirinya berada di gubuk, rasanya seperti ia telah berada disana selama satu tahun.
Sementara itu, Sean menikmati waktu berduanya dengan Lyra yang bersedia untuk merawat luka luka yang di deritanya.
Setelah dirasa cukup kuat untuk berjalan, Sean segera mengajak Lyra untuk keluar dari gubuk itu dan pergi ke rumahnya yang katanya tidak jauh dari hutan ini.
Sudah dua jam mereka berjalan, namun tidak ada tanda tanda untuk bisa keluar dari hutan ini.
Lyra dengan wajahnya yang pucat pun bertanya, "uh! Berapa lama lagi, sih? Kenapa kita tidak langsung ke wilayah Vixen saja!" bentak Lyra kepada Sean yang kini berjalan di depannya.
Sean tersenyum mendengar bentakan kasar Lyra.
"Aku ingin membalas budi kepadamu karena sudah menolongku hari itu. Jadi, kita akan mampir ke tempatku dulu, dan melihat hadiah apa yang bisa aku berikan untukmu karena sudah menolongku," ucap Sean berusaha sebaik mungkin.Namun, siapa yang tahu apa yang ada di pikirannya saat ini.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
FINGERTIP✅
Viễn tưởng【 Fantasy - Romance 】 Umji kira ia akan mati muda, namun ia malah bereinkarnasi di tubuh seorang Duchess yang sangat membutuhkan pertolongannya. "Jadi, apa kau siap?" "Oke, aku siap. Sangat siap! Hahahaha!" Umji memberikan senyum manis kepada wanita...