Part 29 🦎🐍

1.8K 125 19
                                    

Yuhuu... balik lagi...
Happy reading guys...
Btw.... jangan lupa Vote, koment dan share ketemen" kalian ya guys... wehehehe... pengen deh kek orang" yg pembacanya banyak. Hikks.... 🤧🤧

"Siapa yang menghamilimu?" tanya Daniel yangs udah mengeraskan rahangnya.

"Hamil? Apa kau gila?" tanya Ferlita meninggikan suaranya dengan matanya yang menantang berani pada Daniel. Padahal saat ini detak jantungnya sudah berdetak tidak karuan. Kakinya rasanya lemas dan ia rasanya ingin jatuh. Namun, ia tidak boleh terlihat takut dan lemah untuk menghadapi Daniel. Jika ia lemah ia akan kembali menjalani hidup seperti dulu lagi.

"Apa kau fikir pendengaranku terganggu?" tanya Daniel dengan tatapan tajam mengintimidasi.

Ferlita berbalik untuk mengambil handphonenya, "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Daniel dengan suara dinginnya. Ia berjalan cepat menghampiri Ferlita dan mengambil handphone Ferlita dengan cepat. Ia melempar handphone Ferlita hingga pecah berantakan.

Tubuh Ferlita mulai bergetar takut, dengan kasar Daniel membalikkan tubuh Ferlita. Kedua tangannya kini mencengkram bahu Ferlita cukup kuat. "Katakan, siapa yang menghamilimu?" marah Daniel.

Ferlita diam tidak menjawab pertanyaan Daniel. "Ferlita Annabella!" bentak Daniel kuat.

Ferlita yang tadinya menunduk tanpa mau menatap Daniel kini menegakkan kepalanya menatap marah Daniel. Ia sudah mengubur dalam nama itu dan ia benar-benar benci jika dipanggil dengan nama itu. "Gua Annabell Walden, bukan Ferlita Annabella. Dia sudah mati 15 tahun lalu!" marah Ferlita.

Daniel terdiam, Ferlita pun ikut terdiam dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Ia berusaha menutupi tapi akhirnya hari ini ia mengungkapkannya sendiri. Ferlita membalikkan tubuhnya, "Pergi dari sini, aku tidak mau bertemu denganmu!" usir Ferlita dengan nada suara yang masih meninggi seraya mengangkat satu tangannya dan menunjuk kea rah pintu ke luar penthousenya.

Daniel menatap punggung sang istri, "Apa itu anakku?" tanya Daniel tiba-tiba dengan suara lirihnya seraya menatap punggung Ferlita.

"Dia anakku, bukan anakmu!" marah Ferlita lagi tanpa mau menatap Daniel.

Daniel memegang bahu Ferlita membuat sang empunya langsung menyingkirkan tangan Daniel. Ia membalikkan tubuhnya, matanya sudah merah menahan tangis. "Pergi dari sini, jangan ganggu hidupku!" tegas Ferlita.

Daniel tiba-tiba berlutut membuat Ferlita mundur selangkah, "Apa yang kau lakukan? Aku minta kau pergi dari sini dan jangan ganggu aku lagi!" marah Ferlita.

"Maafin aku," ucap Daniel dengan suara serak. Ia mendongak menatap istrinya yang kini diam menatapnya.

"Pergi dari sini!" ucap Ferlita dingin.

"Ferlita," lirih Daniel.

"Ferlita sudah mati!" bentak Ferlita.

"Apa yang harus aku lakukan supaya kamu memaafkan aku. Aku sudah menebusnya selama 15 tahun, apa semua itu masih belum cukup?" tanya Daniel seraya menatap serius Ferlita.

Ferlita tidak menjawab, ia hanya memalingkan wajahnya saja tidak mau menatap Daniel. Daniel mengambil sesuatu di balik jas yang ia pakai. Sebuah pistol kini mengarah ke kepalanya, Jika kematian yang bisa membuatmu memaafkan aku, aku akan melakukannya. Jagalah Ferlita dan putra kita," ucapnya kemudian ia sudah akan menarik pelatuknya tetapi terhenti ketika Ferlita tiba-tiba kesakitan.

"Ferlita," ucap Daniel yang segera membuang pistolnya dan menangkap tubuh Ferlita.

"Sakit," rintih Ferlita seraya memegangi perutnya.

Tanpa banyak berkata, Daniel segera membopong tubuh Ferlita. Ferlita hanya merintih kesakitan seraya memejamkan matanya. Daniel terlihat begitu kahwatir seraya melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia sedikit ke susahan ketika membuka pintu, umpatan-umpatan kesal ia lontarkan karena kesulitan untuk membuka pintu dan menekan lift. Ferlita hanya merintih saja tanpa peduli dengan umpatan Daniel.

Akhirnya mereka sampai di rumah sakit, Ferlita pun segera mendapatkan pertolongan. Daniel menunggu dengan gelisah. Ia mondar-mandir di depan ruangan di mana Ferlita sedang di tangani. Dokter keluar dari ruangan dan syukurlah, Ferlita dan kandungannya baik-baik saja. Ferlita hanya mengalami keram perut akibat emosi yang berlebihan.

Daniel masuk ke dalam ruangan dan Ferlita sedang tidur dengan nyaman. Handphonenya berdering membuat Daniel sedikit terkejut. Ia segera mengambil handphonenya dan menerima panggilan. Ia pun melangkah cepat keluar ruangan supaya Ferlita tidak terganggu. Ternyata telphone dai kantor, sekretarisnya bertanya dimana ia berada karena sebentar lagi akan ada rapat bulanan.

"Steven, bisakah kamu yang memimpin rapat hari ini. Dan tolong kirimkan saja perincian hasilnya ke e-mail saya?"

["Oh, baik pak. Saya akan mengirimkan hasilnya pada bapak."] jawab Steven. Setelah Steven menjawab, panggilan pun berakhir.

Daniel kembali masuk ke dalam dan ia pun duduk di samping brankar istrinya. Ia diam menatap istrinya yang tertidur dengan nyaman. Hanya diam mengamati tanpa ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Dokter tadi mengatakan setelah bangun Ferlita sudah bisa pulang ke rumah.

Daniel berdiri dan berjalann ke luar kamar. Ia mengambil handphonenya dan menelphone seseorang. Selesai menelphone ia pun kembali masuk ke ruangan istrinya. Kembali duduk diam tidak bicara apapun. Setelah beberapa jam ia hanya duduk diam sampai ia ketiduran akhirnya istrinya pun mambuka matanya. "Apa perutmu sudah baik-baik saja?" tanya Daniel dengan satu tangannya memegang tangan sang istri. Ia juga sedikit membungkukkan tubuhnya yang kini berdiri di samping tempat tidur Ferlita.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Ferlita seraya menatap ke arah perutnya yang tertutup selimut.

"Hum, dia baik-baik saja," jawab Daniel dan kini satu tangannya yang tadi menggenggam tangan Ferlita berpindah ke atas perut istrinya. Ferlita sedikit terkejut, tetapi ia bisa menetralkan rasa terkejutnya walau jantungnya tidak berhenti berdegup kencang.

"Dedek jangan nakal-nakal di perut mama ya, kasian kan mama kalau dedek nakal," ucap Daniel serapyaa mengusap perut Ferlita.

Ferlita hanya diam, ia sama sekali tidak terusik dengan sikap Daniel. "Apa aku bisa pulang cepat?" tanya Ferlita yang membuat Daniel kini mengalihkan pandangannya dari perut Ferlita ke wajah Ferlita yang tidak mau menatapnya.

"Kamu bisa pulang sekarang," jawab Daniel seraya tersenyum.

Ferlita diam tidak berkata apa-apa. Daniel membantu Ferlita bangun dari tempat tidur tetapi di tepis oleh Ferlita karena dirinya bukan orang yang tidak bisa bergerak ataupun berjalan. "Biar aku gendong kamu," ucap Daniel.

"Engggak perlu, gua bisa sendiri!" ketus Ferlita.

Daniel hanya bisa menghembuskan napasnya dan menatap istrinya lelah. Hanya bisa menurut saja dengan ibu hamil yang sedang marah. Apalagi kejadian tadi membuat Daniel benar-benar harus berhati-hati agar emosi Ferlita stabil. Jika Ferlita sering emosi, ia bisa saja mengalami keram perut. Keram perut yang sering di rasakan bisa menyebabkan keguguran. Daniel tidak mau sampai itu terjadi, walau anak bisa di buat lagi tapi ia tidak mau sampai terjadi apa-apa dengan anaknya.

Meraka sudah sampai di lobi rumah sakit, "Kamu tunggu sini ya, aku ambil mobil dulu," ucap Daniel kemudian ia berlari pergi ke arah parkirabn.

Ferlita hanya menatap punggung Daniel, ia kemudian berjalan ke arah luar rumah sakit untuk mencari taxi. Ia tidak mau di antar pulang oleh Daniel. Saat ia menunggu taxi datang, ia menyadari bahwa dirinya tidak membawa apa-apa. Handphone atau pun dompet, ia tidak membawa sama sekali.

"Ah, sial!" umpatnya.

Mobil Daniel berhenti tepat di depan Ferlita, Daniel segera turun dari mobil dan menghampiri Ferlita. "Aku kan udah bilang, kamu tunggu saja."

"Berisik!" ketus Ferlita kemudian ia berjalan ke arah pintu belakang mobil Daniel.

"Kamu enggak duduk depan?" tanya Daniel ketika Ferlita membuka pintu belakang mobil.

Ferlita membanting pintu mobil Daniel kemudian ia membalikkan tubuhnya. "Kalau lo enggak suka. Gua jalan kaki!" ancam Ferlita dengan tatapan menantang.

Tbc...

My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang