Tiga hari berlalu dengan cepat. Tak terasa hari ini aku harus kembali ke Tangerang. Rifky tetap mengantar kami hingga tiba di rumah dengan selamat. Meski, aku tahu hatinya berat menerima keputusanku. Ya, aku telah menentukan pilihan.
"Assalamu'alaikum. Uti! Arya udah nyampe lagi nih!"
Teriakan Arya memecah keheningan pagi. Membuat mama tergopoh keluar dari kamar. Kami pun menyalami wanita yang masih terbalut mukena itu.
"Uti abis sholat Dhuha ya?" tanya Arya.
"Iya, Sayang. Gimana enak gak di sana?"
"Uh, enak banget, Ti. Arya jalan-jalan ke gunung teh, ke kebun binatang, banyak deh pokoknya. Akung mana, Ti?"
"Akung lagi ke bengkel, service mobil. Udah pada sarapan belum nih?"
"Udah tadi di bandara, Ma," jawabku. "Tia ke atas dulu ya. Ini oleh-olehnya ditaruh di meja dapur."
Mama mengiyakan lalu masuk kembali ke kamar, diikuti oleh Arya. Sementara aku mulai menaiki anak tangga, dengan Rifky mengekor di belakang.
"Mas Rifky mau mandi duluan?"
"Nggak, kamu aja dulu." Rifky naik ke atas kasur dan merebahkan tubuh di sana. Memainkan jemarinya pada layar pipih di tangan. Demi melihat wajahnya yang tiba-tiba berubah serius, aku urung ke kamar mandi, lalu mendekati lelaki itu.
"Kenapa, Mas?"
"Gak apa-apa, Sayang. Kamu beneran mau di sini dulu? Gak apa-apa kita pisah sementara?"
"Justru Tia yang harus tanya gitu ke Mas, Mas gak apa-apa kalo Tia milih di sini dulu? Ya, paling nggak sampai Tia benar-benar yakin ...."
Rifky menghela napas panjang. "Aku pastinya ingin kita tetap sama-sama, biar bisa jaga kalian terus. Tapi aku ngerti apa yang memberatkanmu. Nanti aku akan sering-sering nengok kalian ke sini, apalagi pas si mungil ini lahir. Aku harus ada di sini kan?"
Aku mengangguk cepat. Meski masih belum terbayang akan seperti apa hidup kami selanjutnya. Setidaknya aku ingin memastikan kedua orangtuaku dalam kondisi yang baik, sampai aku siap meninggalkan mereka.
"Doakan aku nanti bisa bantu mama juga ya. Bagaimana pun mama sudah seperti ibuku. Pastinya aku pengen liat mama baik-baik aja."
"Aamiin. Makasih ya, Mas. Mas Rifky kapan balik?"
"Paling lusa, masih ada yang harus diberesin di sini."
"Oh ya rumah di Kencana itu gimana? Mau dijual aja?"
Rifky mendelik. "Tega kamu ngejualnya? Susah payah aku ngebangun, biarpun kecil tetap itu hasil keringatku sendiri."
"Ih, siapa dulu yang bilang kalo di situ perumahan mewah." Aku tertawa pelan. "Oh ya, makasih ya, akhirnya Mas Rifky jelasin alasan kenapa nikahin Mira. Tia sekarang udah tenang."
Rifky tersenyum dan menatapku penuh arti. Kemudian berusaha meniadakan jarak di antara kami, saat terdengar ketukan pelan di pintu, lalu disusul suara Arya memanggil. Aku tertawa pelan dan segera bangkit, membukakan pintu.
🍀🍀🍀
Hari yang cerah, mentari menyebarkan sinarnya ke seantero mayapada. Langit ultramarin pun menemani perjalanan. Pagi ini Rifky mengantarku hingga di depan kantor. Setelah mencium tangannya, aku pun bergegas masuk. Sementara Rifky melajukan mobil kembali.
Benar saja dugaanku, ditinggal selama tiga hari, pekerjaan menumpuk. Reynand tak tanggung-tanggung memintaku menyelesaikan semuanya segera. Tentu saja tak ada cukup waktu untuk mengerjakannya hari ini juga. Mungkin beberapa berkas terpaksa kubawa pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.