[Assalamu'alaikum. Alhamdulillah, Mira membaik. Titip rindu buat Arya.]
Kuhela napas panjang membaca pesan WhatsApp yang baru saja masuk. Lirih kuucap hamdalah. Meski semua terasa menyesakkan, tapi aku tetap berharap Mira akan segera pulih seperti sedia kala. Urusan dengan Rifky, biarlah kami selesaikan berdua saja.
[Arya tanya kapan ayahnya pulang.]
Akhirnya kukirim juga balasan, sekadar ingin mengetahui reaksinya.
[Insya Allah besok aku pulang ya.]
Segera kumasukkan ponsel ke laci meja, meneruskan pekerjaan yang sempat tertunda. Tiba-tiba office boy mendekat dan meletakkan sebuah bungkusan kecil di depanku. Kemudian berlalu setelah kuucap terima kasih.
Jantung terasa berdebar semakin kencang. Tentu saja aku tahu apa isinya, obat peluruh kandungan yang telah kupesan dua hari lalu via online. Bergetar tangan ini kala menyentuhnya, secepat kilat memasukkannya ke laci, sebelum ada yang melihatnya. Entah kapan akan digunakan isi dari kotak tadi.
Menjelang Maghrib, aku baru bisa keluar dari kantor. Setelah presentasi yang entah mengapa terasa begitu panjang. Mungkin karena mual dan pusing yang hampir-hampir tak tertahan lagi, hingga akhirnya membuatku berdiam diri di kamar mandi, mengeluarkan semua makan siangku dan menunggu sampai perut ini bisa diajak berdamai.
Keluar dari kantor dengan langkah cepat, seraya menghubungi mama. Tiba-tiba aku merasa rindu yang sangat pada Arya. Entah sedang apa bocah itu sekarang, menungguku pulang atau tertidur karena lelah bermain.
Belum sempat panggilanku diangkat, tiba-tiba suara klakson mengejutkan. Langkahku terhenti, mencari sumber suara. Sebuah mobil silver berhenti tak jauh dari tempatku berdiri. Kaca penumpang terbuka, tampaklah wajah pengemudinya.
“Pas banget nih. Mau bareng?” sapanya dengan senyum di wajah.
“Dimas? Ngapain di sini?” jawabku dengan wajah heran.
“Kebetulan ada urusan di Jakarta. Yuk masuk! Arya pasti udah nunggu bundanya.”
Setelah berpikir sejenak, aku pun mendekat dan membuka pintu. “Kamu kok tau aku baru pulang?” Dimas hanya tertawa, kemudian mobil melaju pelan.
Jalan yang mulai lengang, membuat kami tiba di rumah dengan cepat. Dimas sempat menawarkan makan malam, tetapi segera kutolak. Tak mungkin rasanya aku menerima ajakannya saat ini, saat aku masih resmi memiliki suami.
“Makasih ya, Mas. Mampir dulu,” ucapku sebelum turun dari mobil.
“Gak usah, makasih ya. Salam buat Arya, bilang kapan-kapan diajak Om Dimas jalan-jalan.” Ia pun berlalu detik berikutnya.
Aku menghela napas panjang. Seandainya Rifky yang mengajak, tentu aku akan langsung mengiyakan. Ah, gak boleh berandai-andai Tia, bisa jadi pintu masuk setan.
Aku masuk setelah mengucap salam. Menghampiri papa yang duduk santai di depan televisi. Menyandarkan kepala di bahunya, selayaknya anak kecil. Biarlah, toh mereka akan tetap menganggapku anak kecil sampai kapanpun.
“Arya udah tidur, Pa?”
“Udah, abis sholat Maghrib di masjid tadi, langsung ketiduran. Kamu naik apa, Nduk?”
“Ketemu Dimas tadi di jalan.”
“Dimas?” Papa menoleh dengan kening berkerut. Aku mengangguk pelan.
Papa menghela napas panjang. “Kamu jangan terlalu dekat dengan Dimas ya, Nduk. Ingat kamu sudah bersuami, sementara dia masih lajang. Bisa jadi bahan omongan orang, kasian kamu nantinya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.