Part 2

10.4K 631 8
                                    

“Memang keburu kalo nunggu adiknya? Gak terlambat? Udah bareng saya aja … atau takut ayahnya Arya marah?”

Aku mengangkat wajah, menatap mata yang serasa menghipnotis diri. Lalu mengerjap berulang kali, mengusir air mata yang siap tumpah. Merutuk dalam hati, kenapa mobil harus mogok pagi ini, hingga bertemu kembali dengannya.

“Gak usah, saya tunggu Tian aja.” Kembali aku menunduk, tak sanggup berlama-lama memandang paras yang rupawan di hadapan.

“Oke deh, tapi boleh saya temani nunggu sampai Tian datang ya. Kasian kalau sendirian, nanti diganggu orang.”

Ingin menimpali bahwa kehadirannya pun mengganggu ketenanganku. Mengusik kenangan lama yang sempat tersimpan jauh. Namun, apa daya, bibir mendadak kelu. Hingga Reyhan menganggap diamnya aku adalah bentuk persetujuan.

Ia bercerita banyak hal, yang hanya kurespons dengan seulas senyum tipis. Ia juga menanyakan banyak hal, yang hanya kujawab dengan anggukan atau gelengan.

Aku mulai gelisah, berulang kali melihat jam di pergelangan tangan. Ke mana sih, Tian ini? Apa dia gak tahu kalau aku merasa sesak napas di sini?

Sebuah mobil mulai menepi dari jarak jauh. Aku tersenyum mengetahui siapa yang berada di balik kemudi. Segera mendekat.

“Lama banget sih, Ian?” sambutku kala Tian keluar dari sisi pengemudi.

“Tian kan udah sampe tempat kerja, Mbak. Malah jadi keluar lagi nih.” Tian merengut.

“Kamu bisa benerin kan? Kayaknya udah gak berasap tuh.”

“Mbak mau bawa mobil papa?”

“Ngga. Bawa mobil sendiri aja, kalo bisa nyala lagi.”

Tian yang sedikit mengerti mesin, mulai memeriksa mobil. Beruntung tak ada kerusakan yang berarti, selain air radiator saja. Tak lama mobil siap digunakan kembali.

“Ya udah, Tian pamit. Mas Rey, duluan ya.”

Aku mengangguk, lalu Tian melaju kembali. Kulirik laki-laki yang terdiam di sisi kiri, wajahnya tampak serius.

“Tadi saya mau bantuin gak dikasih, ditawarin bareng juga gak mau. Padahal kalau cuma begini, saya juga bisa.”

Aku terdiam mendengar ucapannya. Tepatnya karena tak tahu harus berkata apa.

“Oke deh, karena gak dibutuhkan lagi. Saya duluan. Maaf mengganggu. Assalamu'alaikum.”

Hatiku berdesir saat Reyhan berlalu. Ya Allah, mirip sekali dengan Rifky. Aku bergegas masuk ke mobil, menenangkan jantung yang berdegup kencang.

Bayangan sikap dingin Rifky di awal pertemuan kami, hadir kembali di pelupuk mata. Sikap yang membuatnya dijuluki “manusia kulkas” oleh teman-temanku. Persis seperti yang ditunjukkan Rey tadi.

Air mata kembali meluruh tanpa bisa dicegah. Kusembunyikan wajah di antara tangan di atas kemudi.

Sebuah ketukan pelan terdengar di kaca, dengan terkejut kubuka jendela. Menemukan wajah Rey menatapku lekat. Aku yang tersadar segera mengusap air yang masih tersisa di pipi.

“Kamu … nangis?”

“Nggak.” Aku menggeleng seraya memaksa seulas senyum tipis. “Ngapain balik lagi?”

“....”

“Kalau gak ada yang penting, saya duluan. Assalamu'alaikum.” Setelah menyalakan mesin, mobilku melaju pelan meninggalkannya.

🍀🍀🍀🍀

[Bunda Arya?]

Sebuah pesan WhatsApp masuk. Melihat dari isinya, sepertinya aku tahu siapa yang mengirim.

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang