Rifky pun mengambil barang-barangnya yang tergeletak di atas meja rias, lalu melangkah ke arah pintu. Sempat menoleh padaku yang masih berdiri mematung, dan menutup pintu perlahan.
Tangisku pecah, saat tubuh ini meluruh ke lantai. Inikah jawaban dari semua doa-doaku, Ya Robb?
Segera kususul Rifky, berlari sepanjang anak tangga. Berharap masih dapat menahan kepergiannya. Sayang, deru mobilnya telah pergi menjauh. Meninggalkanku yang tergugu di depan pintu. Seorang diri.
"Tia ...."
Sebuah suara mengejutkanku. Lalu menemukan wajah bingung mama. Tak kuasa, segera kulabuhkan tangis ini dalam dekapan wanita yang paling kucintai.
"Sabar ya, Sayang." Lembut tangannya membelai rambutku. Seperti biasa, wanita ini mengerti segala hal, bahkan tanpa harus dijelaskan.
"Rifky butuh waktu, semua kenyataan ini pasti gak mudah buat dia. Apalagi dia sudah punya kehidupan sendiri selama ini. Kamu sudah kasih tau Risa dan ibunya?" ucap Mama lagi.
Aku menggeleng pelan. "Abis ini Tia telepon Risa. Tia ke atas dulu ya, Ma."
Gontai langkahku menaiki deretan anak tangga. Menatap Arya yang masih terlelap dengan air mata yang kembali menggenang. Namun, segera kuusap kasar, lalu mengambil ponsel di atas nakas.
Bisa kubayangkan, bagaimana terkejutnya Risa, mendapat kabar yang mengagetkan menjelang tengah malam. Setelah bercerita singkat tentang Rifky, pembicaraan terputus lima belas menit kemudian.
Kalian tahu? Memaksa mata terpejam saat hati merana itu sangat sulit dilakukan. Akhirnya kuhamparkan sajadah, mengadukan semua pada Sang Penggenggam Kehidupan.
🍀🍀🍀
Terik mentari terasa menyengat, meski telah tertutup jilbab, panasnya tetap terserap hingga kulit kepala. Aku yang baru saja kembali dari makan siang bersama teman-teman, terkejut mendapati kabar jika sore ini ada rapat di luar kantor.
"Jam berapa kira-kira selesainya, Pak?"
"Ya, sampe selesainya, saya juga gak tau pasti jam berapa. Kenapa?" jawab Reynand.
"Gak apa-apa sih, cuma gak enak aja sama orang rumah kalo kemalaman."
"Gak setiap hari kan, juga masih urusan kantor kan."
Hmm, baiklah. Paling tidak, waktuku tak terbuang hanya memikirkan Rifky yang berhari-hari menghilang. Membuatku kewalahan menghadapi rengekan Arya yang selalu menanyakan ayahnya. Kukirim pesan WhatsApp ke mama memberitahu bahwa akan pulang terlambat. Memintanya memberi tahu Arya agar tak menungguku pulang.
Selepas Ashar, aku bersama Pak Reynand berangkat menggunakan mobil kantor. Membawa semua barangku serta, agar nanti bisa langsung pulang, karena kebetulan aku tak membawa mobil hari itu.
Rapat sore itu ternyata berlangsung cukup lama, karena ada beberapa perusahaan yang sama-sama mengajukan tender. Berkali-kali kulirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam tidur Arya, semoga ia tak keberatan tidur ditemani Utinya saja.
Bersyukur, tiga puluh menit kemudian rapat selesai. Aku mengembuskan napas lega, karena akhirnya bisa pulang juga. Reynand menawarkan untuk mengantar pulang, tapi segera kutolak.
Berulang kali aku memesan taksi online, tapi selalu gagal. Kenapa susah sekali ya, seingatku jam sembilan itu belum terlalu larut. Lima belas menit kemudian, barulah taksi yang dipesan tiba.
Lega rasanya, karena akhirnya bisa pulang juga. Sayang kelegaan itu sirna saat tiba di rumah. Arya tak ada di sana. Mama memberitahu jika Rifky mengajaknya keluar. Sontak, emosiku naik, hasil percampuran dari lelah, lapar, kurang tidur dan marah yang mendera, karena ini sudah lewat jam tidur Arya. Namun, semuanya tak lebih dari ketakutanku, seandainya Rifky membawa anak itu pergi jauh dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.