“Assalamu'alaikum. Arya lagi apa?”
“Bunda pulang? Eh, ada Om Reyhan,” senyumnya merekah melihat Rifky yang baru saja masuk.
Rifky terdiam, menatap Arya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengerti bagaimana perasaannya. Betapa ia sangat merindukan kehadiran buah hati di tengah-tengah kami, sebelum kecelakaan itu terjadi. Kuyakin perasaannya tetap sama, meski ingatannya belum sepenuhnya kembali.
Kugenggam kembali tangannya. Menyalurkan ratusan watt perasaan cinta yang tengah membuncah ini. Menariknya mendekat pada bocah lelaki yang menatap kami tak mengerti.
“Arya, ada sesuatu yang mau bunda bicarakan ...."
Aku mendudukkan diri di sisi Arya. Rifky menarik kursi ke dekat ranjang, duduk dengan wajah cemas.
“Arya inget Ayah Rifky yang fotonya sering kita liat di album?” Kulihat Arya mengangguk cepat. “Arya masih ingat wajah Ayah Rifky kan?” Arya kembali mengangguk, meski kebingungan memenuhi wajahnya.
Kemudian kuceritakan dengan bahasa yang paling sederhana tentang ayahnya yang selamat dari kecelakaan. Arya mengerjap dengan wajah yang masih tetap tak mengerti.
“Arya senang gak kalo bisa ketemu sama Ayah Rifky lagi?” tanyaku hati-hati.
“Mau, Bun. Ayo, anterin Arya ketemu Ayah, Bun,” ucapnya dengan mata berbinar. Rifky menyeka sudut mata dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya yang berada dalam genggamanku terasa menguat.
Kuhela napas panjang berulang kali, berusaha menguatkan diri sendiri. “Jadi Om yang selama ini Arya kenal sebagai Om Reyhan, sebetulnya adalah Ayah Rifky. Ayah kehilangan ingatan karena kecelakaan, kayak yang tadi bunda bilang. Tapi Ayah udah ingat lagi sama kita kok ...."
Lamat-lamat kuucap kata demi katanya, berharap ia memahami perkataanku. Tampak Arya memandangku dan Rifky bergantian, sebelum akhirnya dengan gerak lambat mengulurkan tangan pada Rifky sambil menangis.
Rifky bangkit dan memeluk Arya erat. Keduanya sama-sama tak mampu menahan keharuan yang muncul, membuatku ikut menitikkan air mata. Tak sadar, mataku menangkap bayangan mama yang melihat dari celah pintu yang tak tertutup rapat.
Aku bangun dan berjalan mendekati wanita yang telah melahirkanku, yang kini tengah menangis di depan pintu. Ia bertanya lewat pandangan mata, yang segera kujawab dengan anggukan kepala.
Mama memelukku erat, mengucap hamdalah berulang kali. Lalu mengikuti langkahku menuju kamar. Tampak Rifky masih memeluk Arya, tapi wajah keduanya tak sesedih tadi.
“Nak Rifky … masih ingat mama?” tanya mama.
Rifky segera bangkit dan mencium tangan ibuku dengan takzim. “Maafin saya ya, Ma, sudah membuat keluarga ini berduka selama bertahun-tahun.”
“Alhamdulillah Nak Rifky udah kembali. Mama ikut bahagia, akhirnya kalian bisa berkumpul lagi. Kasian Arya selama ini sangat ingin punya ayah, seperti temannya yang lain.” Mama mengusap matanya yang membasah lagi.
“Iya, Ma. Saya janji akan membayar tahun-tahun yang terlewati tanpa kehadiran saya di sisi Arya.”
Terima kasih, Ya Allah. Engkau Maha Baik. Engkau yang paling memahami isi hati tiap hamba-hamba-Mu, izinkan kami selalu bersama dalam keridhoan-Mu.
🍀
Aku membetulkan letak selimut Arya. Menatap wajah yang terlelap dalam damai itu. Aku tersenyum mengingat betapa manjanya ia saat meminta Rifky membacakan buku cerita. Bahkan setelah setumpuk buku, ia tetap tak mau berhenti, hingga akhirnya tertidur dengan sendirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.