Part 15

9.8K 806 88
                                    

“Ayo, Bunda! Cepet! Kasian ayah kelamaan nunggu.” Arya menarik-narik lenganku yang baru saja menutup pintu mobil.

“Sabar, Sayang.” Kuikuti langkahnya yang setengah menyeretku. Wajahnya tampak berpendar oleh rasa bahagia, karena janji dari sang ayah yang mengajaknya ke tempat bermain di mall terbesar di Tangerang Kota ini.

Rifky memang meminta bertemu Arya di luar, setelah keinginannya untuk berkunjung ke rumah kutolak. Jelas saja Arya semringah mengetahui ajakan ayahnya itu setelah hampir tiga pekan tidak bertemu.

Mall lumayan ramai hari ini, mungkin pengaruh awal bulan. Tiba-tiba aku teringat beberapa tahun silam. Saat itu aku menolak ajakan Rifky untuk menjemput ibu dan adiknya di bandara, tapi kami malah kemudian bertemu di sini. Tak terbayang malunya saat itu.

“Ayaaahhh!” Arya berlari menyongsong pria yang tengah duduk membelakangi kami. Lalu memeluknya erat. Rifky tersenyum padaku yang baru tiba di sebelahnya, menyodorkan tangan yang kemudian kucium. Biar bagaimana pun ia masih suami yang wajib kuhormati.

“Ayah, ayo kita main sekarang,” ucap Arya tak sabar. Kami tertawa melihat tingkahnya. Rifky mengikuti langkah Arya yang menarik tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggandengku. Ia tetap tak mau melepas genggamannya meski telah berkali-kali kutarik.

Lalu mereka larut dalam permainan demi permainan yang ditunjuk Arya, aku hanya mengawasi dari kejauhan. Ah, sensasi mual datang kembali. Segera aku beranjak menuju toilet yang agak jauh dari pusat permainan tempat kami berada.

Memasuki bulan kedua kehamilan, masih didominasi oleh mual muntah yang datang tak kenal waktu. Makan pun masih sering pilih-pilih. Beruntung tak seperti hamil Arya dulu, yang hanya mau makan hasil masakan Rifky. Mungkin pengaruh keadaan yang tak lagi sama.

Lima belas menit kemudian aku kembali ke sana, Arya yang tengah menaiki 'carousel’ melambaikan tangan padaku, sementara Rifky yang menanti di luar menghampiri.

“Dari mana? Toilet?” tanya Rifky yang kujawab dengan anggukan pelan. “Aku pikir kamu pergi karena aku.”

“Terus ninggalin Arya?” Aku tertawa pelan.

“Kamu udah makan? Mukamu pucat” tanyanya lagi dengan raut khawatir. Lagi-lagi hanya kujawab dengan anggukan. “Tunggu sini ya, aku beli minum dulu.” Rifky kemudian menjauh.

Tak lama kemudian, ia kembali dengan dua botol air mineral yang kuterima dengan ucapan terima kasih. Kusambut Arya yang baru saja keluar dari arena carousel tadi yang langsung berceloteh riang menyebutkan permainan apa saja yang telah dinaikinya.

“Arya udah laper belom? Kita makan yuk,” ajak Rifky. Tentu saja tawaran tersebut langsung disambut baik oleh Arya. Bocah itu kembali menarik tangan Rifky, menyebutkan menu apa yang sedang ingin dimakannya. Detik kemudian Arya kembali dan meraih tanganku agar mengikutinya.

“Arya mau ayam goreng itu ya, Yah.” Tangannya menunjuk gerai makanan cepat saji yang ada di area foodcourt. Kemudian mengajakku duduk di satu-satunya meja kosong yang tersisa. Tak lama Rifky kembali dengan senampan makanan dan minuman. Lalu mengajak Arya ke wastafel terdekat.

“Makan yang banyak loh ya, kan Arya yang ajak makan di sini,” ujar Rifky yang langsung diiyakan oleh Arya. “Kamu gak makan, Tia?”

“Nanti aja, Mas. Masih kenyang.”

“Bunda makan dong, nanti dede bayinya kelaparan loh,” timpal Arya dengan mulut penuh makanan. Sungguh ucapan yang sukses membuatku terdiam seketika.

“Dede bayi? Dede bayi siapa?” tanya Rifky. Ia menatap Arya dengan kening berkerut.

“Dede bayi Arya-lah, kan kemarin Arya temenin bunda liat dede bayi di rumah sakit.”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang