Apa maksud ucapan lelaki ini? Jelas-jelas kami belum lama saling mengenal, bagaimana bisa ia … kutatap Reyhan dari atas ke bawah, kembali lagi ke atas. Mencoba mencerna kata-katanya.
“Mira dan orangtuanya selalu mendesak agar kami segera menikah, tapi entah mengapa saya merasa jika saya ini sudah menikah. Meski sebenarnya tak yakin juga akan hal itu. Kamu pernah merasakan seperti itu?” Wajah Reyhan tampak mendung.
“Ceritakan apa saja yang kamu lakukan selama sepuluh tahun ini,” pintaku.
“Sepuluh tahun terakhir?” Reyhan menoleh lalu menaikkan sebelah alisnya.
“Iya. Pak Reyhan lagi curhat kan? Ya, jangan setengah-setengah curhatnya.”
“Hmm … entahlah, aku sendiri bingung.”
“Bingung gimana?”
“Kamu pernah bangun tidur dan mendapati kenyataan bahwa kamu tidak bisa mengingat apapun?”
“Maksudnya … amnesia?” Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Hmm, dokter menyebutnya begitu.”
“Terus?”
“Saya terbangun di sebuah rumah sakit, setelah tak sadarkan diri selama dua hari, dan … begitulah.”
“Kapan itu kejadiannya?”
“ ... sekitar lima tahun lalu. Lalu tinggal di rumah sakit selama tiga bulan, karena cedera serius pada kaki juga kesulitan berbicara. Lengkap sudah semuanya.”
“Kecelakaan, Pak?” Kutekan kuat-kuat debaran jantung yang kian terasa menyakitkan.
Reyhan menatapku lekat. Lalu mulai menceritakan semuanya. Mulai dari ledakan, seorang ibu dengan balita kembar yang salah satunya akan ia selamatkan, kemudian terlempar ke luar, dan terbangun di rumah sakit. Hanya itu yang berhasil diingatnya, akibat terlalu seringnya hadir dalam mimpi.
Tak mampu dijelaskan bagaimana perasaanku mendengar ceritanya. Sebuah nama yang masih dan akan selalu ada di hati, tiba-tiba saja muncul ke permukaan. Bulir bening menggenang di sudut mata, siap tertumpah.
Reyhan mengeluarkan sebuah benda dengan sebentuk permata biru di tengahnya. “Cuma ini yang saya temukan di saku celana saat itu. Entah milik siapa benda ini. Yang jelas bukan punya Mira, karena terlalu kecil untuk dia.”
Aku melirik benda yang sedang ditimangnya. “Boleh saya liat?” Gugup tanganku terjulur, menerima benda berkilau itu. Ya Allah, benda ini kan ….
Kuperhatikan dengan hati tak karuan. Teringat saat terakhir bersama Mas Rifky di mobil saat menuju Bandara Soekarno Hatta.
Kala itu aku berada dalam dekapan Mas Rifky, masih berusaha membujuk agar mau menunda perjalanannya hingga besok pagi. Sayang, ia yang tak percaya dengan firasatku saat itu, menolak dengan halus.
“Ya udah, siniin cincinnya!” pintaku.
Meski bingung, Mas Rifky tetap memberikan cincin yang diambilnya dari dompet. Lalu kulepas cincin di jari manis, dan meletakkan di tangannya.
“Mas simpan cincin Tia, Tia simpan punya Mas. Biar kita tetep bersama di mana pun kita berada.”
Rifky hanya tertawa menanggapi, lalu dikecup cincin itu perlahan. “Oke, anggap aja ini pengganti kamu sementara ya.”
“Cincin itu pasti milikmu kan?” Pertanyaan Reyhan mengembalikan kesadaranku kembali. Lalu mengangguk perlahan.
“Seperti dugaanku,” ujarnya lagi.
Kugenggam erat benda kecil berbentuk bulat dengan air mata yang mulai mengalir di pipi. Tanpa sadar mendesiskan sebuah nama. Meski pelan, harusnya aku sadar bahwa Reyhan bisa mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.