“Halo, ada apa, Ma? Tumben telepon ke kantor.”
“Mama telepon HP kamu tapi gak masuk-masuk, makanya langsung ke kantor. HP kamu kenapa?”
Aku mengeluh, baru teringat jika ponsel masih dimatikan sejak pagi.
“Iya, Ma. Maaf. Kenapa, Ma?”
“Arya. Dia jatuh dari perosotan di sekolah, waktu lagi main. Langsung dibawa ke klinik sama gurunya, ini mama mau nyusul ke sana.”
“Astaghfirullah. Ya Allah, Arya ... Tia pulang sekarang, Ma.”
Kututup telepon dengan gugup. Kenapa jadi begini? Semua gara-gara Reyhan. Argh ….
Setelah meminta izin via interkom, aku berlari menuju parkiran. Lantas melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Tak menghiraukan protes pengendara lain yang tersalip atau terpotong lajurnya. Aku harus segera tiba di sana, tak peduli bagaimana caranya.
Bayangan Arya menari-nari di benak. Terbayang kembali bayi mungil yang sangat pengertian, tak pernah merepotkan, seolah mengerti keadaan tak lagi sama. Tak ada lagi lelaki tangguh tempat kami bersandar selama ini.
Mengenang masa itu, berarti mengenang kembali saat-saat berjuang mempertahankan kewarasan di tengah gempuran memori yang hadir bak air bah. Malaikat kecil itulah satu-satunya alasanku untuk tetap hidup.
“Assalamu'alaikum. Pa, gimana kondisi Arya? Dia gak apa-apa kan? Gak serius kan?” Aku langsung masuk dan menodong papa dengan berbagai pertanyaan.
“Alhamdulillah cuma terkilir aja. Gurunya juga udah jelasin gimana kejadiannya. Udah kamu tenangin diri dulu sana, baru temuin Arya di atas.”
“Alhamdulillah, Ya Allah.” Tak terasa air mata yang sejak tadi tertahan, kini sukses meluncur dari sudut-sudutnya. Semoga memang tak ada masalah yang serius dengan kaki Arya.
🍀
“Bunda … udah pulang kerja?”
Bocah yang sedang memegang mobil remote control pemberian Reyhan itu riang menyambutku.
“Ya, Sayang. Bunda langsung pulang waktu dikabarin Uti. Gimana kaki Arya?”
“Sakit, Bun. Tapi, kata dokter, sebentar lagi juga sembuh. Bunda jangan sedih ya.”
Sungguh tak habis pikir, yang sakit malah yang menghiburku. Terkadang Arya memang tampak lebih dewasa dari usia sebenarnya.
“Iya, Sayang, sebentar lagi pasti sembuh. Arya sabar ya, istirahat dulu, biar nanti bisa main lagi.”
Arya bercerita, bahwa saat itu ia dan teman-temannya saling berlomba menaiki perosotan. Semuanya naik dan meluncur dengan cepat, hingga akhirnya kakinya tergelincir dan terjatuh dari permainan setinggi dua-tiga meter itu.
“Arya boleh kasih tau Om Reyhan gak, Bun?”
Kutatap mata bening itu dengan pandangan tak mengerti.
“Buat apa, Sayang? Nanti malah ganggu Om Reyhan loh.”
“Biar Om Reyhan gak nungguin Arya di taman. Arya kan harus istirahat di rumah. Bunda tolong kasih tau Om Reyhan ya.”
Wajahnya tampak serius. Bagaimana mungkin tega untuk menolak. Aku pun akhirnya menyanggupi.
Benar saja, Reyhan langsung datang sore itu juga sepulang kantor. Aku tertegun saat membukakan pintu dan melihatnya tersenyum. Lalu membukakan pintu lebih lebar agar ia bisa masuk.
Sudah bisa kubayangkan bagaimana terkejutnya kedua orangtuaku, mama bahkan tak berkedip menatap Reyhan. Reaksi yang sama saat aku melihatnya pertama kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.