Setiba di depan kamar, terdengar suara ramai dari dalam. Membuat kami berpandangan sejenak. Tapi aku tetap mengetuk pintunya pelan. Setelah ketukan yang kedua kali, aku berinisiatif membuka pintu. Tapi, pemandangan yang terlihat dari sini, sungguh membuat keningku berkerut.
Di mana ibunya Mira sedang berdiri sembari bertolak pinggang di hadapan Tante Sarah. Bahkan sebelah tangannya masih terarah pada Tante Sarah. Namun, pandangannya kini sepenuhnya beralih padaku. Entah apa yang terjadi sebelum aku membuka pintu. Tapi, sepertinya kedatanganku lagi-lagi tak tepat waktu.
Rasa was-was seketika menyeruak, apa yang terjadi di sana. Ada bimbang yang hadir, ingin rasanya meminta Risa mengajak Arya dan ibu pergi dari sini agar tak perlu melihat apapun yang tengah terjadi. Namun, demi melihat wajah ibu yang sudah lelah, aku jadi tak tega.
Beruntung detik berikutnya, ibunya Mira segera keluar dari ruangan. Kami sedikit menyingkir memberi jalan. Namun, saat melewatiku, ia berhenti sejenak, menatap sengit dan berlalu begitu saja. Seketika aku menghela napas lega saat melihatnya menghilang di sudut lorong. Seolah ada beban berat yang baru saja terlepas.
Tante Sarah muncul dan mempersilakan kami masuk. Kami menyalami perempuan tersebut satu persatu, bahkan ia mencium kening Arya penuh kehangatan. Kemudian mempersilakan kami untuk duduk. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tetap tak melihat sosok Reyhan.
"Mas Reyhan di mana, Tante?" Belum sempat Tante Sarah menjawab, sudah terdengar suara flush dari arah toilet. Sepertinya itu sudah menjawab pertanyaanku, bahwa ia memang tengah berada di sana.
"Maaf, tadi sambutannya kurang mengenakkan ya, Tia," ujar Tante Sarah yang kutanggapi dengan senyuman. "Oh ya, boleh Tante tahu, ibu dan mbak ini siapa?"
Aku menoleh sekilas pada ibu dan anak di sebelah kiriku. "Hmm, ini Ibu Lastri dan Risa, ibu dan adiknya Mas Rifky."
Seketika Tante Sarah terpaku dengan mata membulat. Bibirnya membuka, tapi tak ada suara yang terdengar. Begitu pula dengan seseorang yang baru keluar dari toilet. Ia membeku di tempat, tapi tak lama mendekat dan langsung meraih tangan Ibu Lastri. Sang ibu tentu saja syok kala melihat siapa yang mencium tangannya lalu menoleh padaku sambil menahan tangis. Setelah melihat aku mengangguk, Ibu Lastri lantas mendekap putranya dengan air mata kerinduan yang membanjir.
Suasana mendadak menjadi syahdu. Keharuan dan isak tangis mewarnai tiap adegan. Risa bahkan sudah menangis sambil terisak saat ini. Begitu pula aku yang tak bisa menahan haru lagi seraya menyeka sudut mata yang mulai basah. Arya yang semula duduk di sebelahku, kini mulai beringsut naik ke pangkuanku. Berbisik menanyakan mengapa semua menangis, yang aku jawab bahwa itu adalah tangisan bahagia.
Tante Sarah tampaknya sudah mampu menguasai diri kembali, ia menyalami Ibu Lastri sambil terisak, mengucapkan kata maaf berkali-kali. Sementara Rifky sudah beralih memeluk Risa yang terisak semakin kencang. Tiba-tiba sebuah tangan mengusap pipiku yang telah basah, yang saat aku menoleh ternyata sang pemilik tangan juga sudah banjir air mata. Segera kupeluk bocah lelaki yang ada di pangkuanku.
"Maafkan saya, Bu ... saya gak bermaksud memisahkan Nak Rifky dengan keluarganya ... termasuk dengan Ibu Lastri juga ... karena saat itu ... saya gak tahu harus menghubungi siapa ... dan karena Reyhan baru saja meninggal ...."
Tante Sarah tak meneruskan kata-katanya, karena ia sudah menutup wajah dengan kedua tangannya. Isakan terdengar kembali dari dirinya. Terlihat ia sangat terpukul dengan semua yang telah dilakukan. Ibu Lastri berusaha menenangkannya.
"Gak apa-apa, Bu. Justru saya berterima kasih, Ibu Sarah sudah menolong Rifky dan merawat dia seperti anak sendiri. Entah apa jadinya jika waktu itu tidak bertemu dengan Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.