Part 11

9.2K 540 33
                                    

Mentari mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Memantulkan titik-titik embun dari rerumputan. Aroma petrikor masih tertangkap indera penciumanku, sebagai akibat dari hujan yang turun dini hari tadi. Sungguh, Ahad pagi yang indah.

Aku masih berdiri di depan jendela kamar saat bocah laki-laki menghampiri dengan wajah bantalnya. Tanganku terentang menyambutnya dan memberi pelukan selamat pagi. Ia merebahkan kepalanya di bahuku. Aku tersenyum demi melihat matanya yang tertutup kembali.

"Arya masih ngantuk? Hari ini kita jadi jalan-jalan gak?"

"Jadi dong, Bun. Arya udah bangun nih." Dipaksakan kedua matanya membuka. Aku tak tahan untuk tak menyerbu pipinya dengan ciuman gemas. Hingga ia berteriak meminta ampun berulang kali sambil tertawa. Membuat Rifky yang sempat tertidur kembali selepas subuh jadi terbangun.

Rifky menatap kami dengan tersenyum. Lantas bangkit dan mengambil Arya dari tanganku. Membawanya ke atas ranjang dan mulai bergelut diiringi tawa yang khas. Tak mau ketinggalan, aku pun ikut bergabung, menyerang Arya kembali dengan ciuman.

Merasa kewalahan diserang dua pihak, Arya pun melarikan diri keluar. Meninggalkan kami berdua yang kemudian saling tersenyum. Baru saja hendak bangkit, Rifky menarik tanganku, membawaku dalam dekapnya.

"Nanti Arya lihat, Mas," sergahku.

"Gak apa-apa, nanti aku kunci."

Tawaku pun melengkapi indahnya pagi ini. Bahagia sekali mengingat hubungan kami sekarang mulai membaik. Tampak Rifky berusaha keras memperbaiki hubungan kami. Membuatku akhirnya membuka hati kembali untuknya.

Sekalipun aku masih suka melihatnya melamun di depan laptop, tapi ia tak pernah lagi membuka foto-foto Mira. Aku mengerti betapa ia berjuang untuk mempertahankan rumah tangga ini. Meski aku tak tahu berapa persen rasa yang tersisa untukku, tetap akan kupertahankan. Hingga batas kemampuanku.

Seperti yang telah direncanakan, pagi ini kami akan berkunjung ke Sea World. Arya bersemangat sekali melihat beraneka macam jenis ikan yang ada di sana. Tangannya sibuk menarik kami ke sana-sini, tanpa takut menyentuh hewan yang diizinkan untuk dipegang.

Mata yang berbinar itu membawa kehangatan dalam hatiku. Membenarkan tindakanku mempertahankan rumah tangga ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Akan kupastikan binar itu tetap menyertai langkah malaikat kecilku.

"Bunda gendong." Rengekan Arya mulai terdengar saat telah letih berjalan.

Aku tertawa. "Kan Arya udah janji gak minta gendong."

Tiba-tiba Rifky mengangkat tubuh Arya dan mendudukkan di bahunya. Tentu saja hal itu membuat bocah itu girang merasa keinginannya tercapai.

"Tuh kan, tadi janjinya gimana hayo ...," ucapku seraya mendelik padanya. Namun mereka hanya menanggapi dengan tawa kembali.

Rifky menggandeng tanganku dengan Arya tetap berada di bahunya. "Gak apa-apa, kan aku yang mau gendong dia."

Kemudian kami melangkah keluar, setelah dua jam berada di sana. Menyusuri jalan yang ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang, hingga tiba di tepi pantai. Arya turun dan berlari riang menuju arena permainan yang tersedia di sana.

"Nanti sore kita nginep di kencana, yuk," ajak Rifky tiba-tiba.

Aku menoleh dengan heran. "Kenapa tiba-tiba ngajak ke sana?"

"Ya, kangen aja sama rumah sendiri. Arya juga belum pernah nginep di sana kan?"

Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Arya memang belum pernah menginap di sana. Selama ini kami hanya bermain saja di sana. Memastikan kondisinya tetap baik.

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang