Part 24 - Honeymoon

1.8K 141 3
                                    

Mataku membuka perlahan. Suara berderit yang tadi sempat terdengar kini sudah menghilang. Aku menoleh pada bayi yang tertidur di box bayi yang terletak di sisi kiri kasur.

Eh! Ke mana Arin? Gak mungkin bayi itu pindah sendiri kan! Sontak aku terduduk dan menyapu seluruh kamar, mencari sosok bayi perempuan yang hampir berusia dua bulan. Namun, tak jua kutemukan keberadaannya di kamar ini.

Eit, tunggu! Sayup-sayup ada suara yang tertangkap indera pendengaran. Kulirik jam yang tergantung di dinding. Siapa yang masih mengobrol tengah malam begini?

Perlahan kubuka pintu kamar dan suara itu semakin terdengar jelas. Kulangkahkan kaki menuju ruang depan, di mana sumber suara berasal. Pemandangan yang tampak kemudian membuat hatiku tersentuh. Kurekam baik-baik di sanubari, agar bisa diceritakan di kemudian hari.

"Eh, Bunda bangun. Kayaknya kita terlalu rame deh, Rin, sampe ganggu Bunda," ucap Rifky saat tak sengaja melihatku yang tengah menatap mereka. Aku tersenyum sambil mendekat dan duduk di sisi laki-laki kesayanganku itu.

"Mas Rifky kapan pulang? Arin nangis ya? Kok gak bangunin Tia?"

"Belum lama kok nyampenya, terus dengar Arin nangis. Sengaja dibawa keluar biar gak ganggu bunda, eh anaknya anteng, ya udah diajak ngobrol aja deh sekalian. Ya kan, Rin, kita ngobrol banyak, kan, ya," jelas Rifky.

"Ya ampun, Arin ngobrol apa sama ayah? Bunda sampe ditinggal gitu." Kuciumi pipi gembil bayi cantik yang berada di pangkuan ayahnya.

"Ngobrolin tentang masa depan ya, Rin. Gimana milih suami yang baik, biar bisa jadi imam dan kepala keluarga yang baik juga."

Mataku membulat mendengarnya. Menatap wajah tampan itu tak percaya. Bagaimana bisa ia membicarakan hal seperti itu pada bayi yang belum genap berusia dua bulan.

"Kenapa kok liatinnya begitu?" Tangan kiri Rifky membelai rambutku pelan.

"Gak salah cerita begituan ke bayi dua bulan?"

"Kenapa? Ini kan pembicaraan ayah dan anak perempuan. Biar gak salah pilih suami nantinya. Kalo gak suka, tidur lagi aja sana." Rifky berpura-pura cemberut.

"Duh segitunya, yang udah punya pacar baru. Tia dicuekin. Oke deh, Tia tidur lagi. Berarti nanti Mas Rifky yang nidurin Arin ya. Tia mau tidur sama pacar baru juga. Oh ya, Arin biasanya tidur sambil nyusu." Tak mau kalah, aku pun menggoda laki-laki itu. Baru saja hendak beranjak ke kamar Arya, tiba-tiba lenganku ditarik hingga menabrak tubuh Rifky.

"Apaan sih, Mas? Katanya tadi suruh tidur lagi. Tia kan mau tidur sama Arya," ucapku lagi masih dengan tanpa senyum.

"Jangan gitu dong, Sayang. Kalo Arin nangis lagi, aku kan gak bisa nyusuinnya. Oh ya, aku tadi bawa martabak keju kesukaanmu loh."

"Gak mau." Kuraup Arin dari pangkuan ayahnya lalu beranjak ke kamar. Mata bulat Arin telah mengerjap berulang kali, pertanda ia mulai mengantuk. Namun, tetap tak ada tangis rewel yang terdengar.

"Arin udah tidur?" Rifky menyusul kemudian dengan piring kecil berisi martabak keju dan segelas teh hangat yang diletakkan di nakas.

"Sedikit lagi."

"Sini aku gendong lagi. Kangen seharian gak liat Arin."

Seolah mengerti ucapan ayahnya, Arin pun menghentikan kegiatannya menyusu. Segera Rifky mengangkat bayi itu dan menimangnya. Seperti yang sering ia lakukan untuk menidurkan Arin. Aku merasa sangat tertolong dengan bantuan kecil itu, karena jadi bisa melakukan kegiatan yang lain atau mengalihkan perhatian pada Arya yang telah sangat pengertian itu.

"Kok gak dimakan martabaknya? Biasanya kamu paling suka."

"Nggak, ah. Ntar makin naik timbanganku kalo ngemil malam-malam begini."

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang