Part 9

7.9K 527 26
                                    

Ketukan pelan terdengar di pintu, disusul ucapan salam yang terucap lembut. “Assalamu'alaikum.”

Sosok anggun itu muncul di ambang pintu. Mengenakan tunik berwarna pastel dengan  kerudung senada, dan senyum bersahabat yang tersemat di bibirnya. Sungguh, jika ada orang yang tak ingin kutemui hari ini, besok, atau pun lusa, maka itu adalah dirinya.

“Mira!” seru Rifky kaget. Ia menoleh ke sekeliling, sebelum akhirnya mendekati wanita itu.

“Aku mau nengok Mbak Tia, Mas,” jelasnya seraya memegang tangan Rifky.

Aku menelan ludah dengan susah payah, saat semua menoleh melayangkan tatapan penuh tanya padaku. Ah, sudahlah, apa pun yang terjadi aku terima, karena pasti akan terjadi perang dunia ketiga setelah ini.

Mira mendekatiku dengan sekeranjang penuh buah-buahan, kemudian meletakkannya di meja sebelah ranjang. “Semoga cepet sembuh ya, Mbak.” Seulas senyum manis tetap tersemat di bibir tipisnya.

Aku menghela napas panjang. “Makasih ya.” Hanya itu yang mampu kuucapkan.

“Tadi aku liat Arya di bawah, sama siapa itu Mbak? Kasian ya, gak boleh masuk ke sini.”

“Itu adik saya sama suami adiknya Mas Rifky. Oh ya kenalin, ini Risa, adik kandungnya Mas Rifky.”

Mira mengulurkan tangan, yang disambut oleh Risa meski kebingungan tetap tergambar jelas di wajah adik iparku itu. Risa. Mira. Masing-masing menyebutkan namanya. Sementara mama memilih keluar ruangan dengan alasan ingin menemani Arya.

“Oh ya, itu Ibu Lastri, ibu kandung Mas Rifky. Itu Pak Ali dan Ibu Lina, lalu orangtuaku.” Sengaja kuperkenalkan semua yang ada di ruangan pada wanita itu.

Mira menyalami semuanya satu per satu. Kebingungan kini terlihat jelas di wajah manis tersebut. Ditatapnya Rifky seolah meminta penjelasan. Sementara yang ditatap, masih diam seribu bahasa.

“Oh ya, Nak Mira ini siapa? Teman kantornya Tia, ya?” Ibu mertuaku bertanya. Degup di jantungku seketika berkejaran. Tak sabar ingin mendengar jawaban yang akan diberikannya.

“Saya tunangannya Mas Reyhan, Bu,” jawabnya sopan.

“Reyhan itu siapa?” tanya Bu Lastri lagi.

“Mas Rifky ini sempat hilang ingatan, Bu. Dan semua memanggilnya dengan sebutan Reyhan,” jelasku.

“Maksudnya gimana ini? Kamu tunangannya Rifky?” Ibu Lastri berganti-ganti memandang antara Mira, Rifky, dan aku. “Bagaimana bisa orang yang sudah menikah lalu bertunangan? Rifky? Tia? Apa maksud semua ini?”

Aku terdiam, bingung harus menjelaskan apa, hanya menatap Rifky, berharap ia akan menjawab pertanyaan ibunya. Hampir semuanya menatap Rifky, menunggunya berbicara.

Keheningan menyelimuti ruang rawat inap ini. Rifky masih terdiam dengan kening berkerut. Pertanda ia tengah berpikir keras. Mira pun berdiri dengan gelisah, sibuk memilin jemarinya sendiri.

Tiba-tiba Risa berjalan ke arah Rifky, lalu berdiri tepat di depannya. Menatap kakaknya tajam.

“Mas, tolong jelaskan maksud semua ini. Apa benar wanita ini adalah tunanganmu? Lalu bagaimana dengan Mbak Tia? Bagaimana pula Arya? Tak ada rasa rindukah pada mereka setelah terpisah sekian lama?”

“Jelas aku rindu mereka, Ris.”

“Lalu?” kejar Risa.

“Aku tak bisa ninggalin Mira untuk saat ini.”

“Kenapa, Mas? Kalian belum menikah kan?”

“Belum, Mbak. Kami belum menikah. Mas Reyhan masih tak menjawab jika ditanya kapan menikah.”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang