Part 22

2K 187 17
                                    

Pagi yang cerah, arunika mengintip dari sela dedaunan. Menyapa lembut para penghuni bumi. Sepotong awan tergantung di langit ultramarin. Kuikuti langkah kecil Arya yang menuruni anak tangga dengan tergesa.

"Utiii ... hari ini gak usah anterin Arya sekolah ya. Arya mau dianterin bunda!" pekik Arya riang setiba di anak tangga yang paling bawah.

"Loh, kamu gak ke kantor, Tia?" ujar Mama heran.

Aku tersenyum dan mendekati wanita yang paling berjasa dalam hidupku, yang tengah menemani papa bersantai di ruang tamu. Kemudian menduduki di kursi terdekat, sementara Arya merayap ke pangkuan papa. Tak lama Rifky pun ikut bergabung dan duduk di sisiku.

"Kenapa nih? Ada apa?" tanya Mama lagi. Wajahnya tampak tertarik dengan yang akan kusampaikan.

"Hmm ... begini, Ma. Seandainya Tia ikut Mas Rifky pindah ke Solo gimana, Ma? Pa?"

Papa dan mama saling berpandangan sejenak, kemudian tersenyum. Wajah keduanya terlihat bahagia.

“Gimana apanya, Tia? Ya, kamu memang harus ikut, karena tempatmu memang di sisi Rifky kan? Mama sama papa jelas mendukung sekali. Tapi nanti Uti jadi kangen deh sama Arya.”

“Uti ikut aja, ya,” ucap Arya polos.

“Gak bisa, Sayang. Nanti uti sama akung nengokin Arya di sana ya. Boleh kan?”

Kuraih cangkir berisi teh di meja lalu menyesapnya pelan, seraya mendengarkan celotehan Arya. Sungguh pagi yang hangat, berada di tengah keluarga yang tulus menyayangi. Lelaki di sebelah kananku mengambil cangkir dari tanganku dan ikut menyeruputnya, sementara tangan kirinya menggenggam tangan kananku erat. Ah, nikmat mana lagi yang bisa kudustakan.

“Boleh dong. Nanti Arya punya kamar sendiri, Ti. Uti sama akung bisa tidur sama Arya.”

“Iya dong. Arya kan udah besar, harus belajar tidur sendiri. Apalagi sebentar lagi adik bayi lahir. Iya kan? Oh ya, kapan rencana pindahnya? Barang-barang di kamar mau dibawa semua?”

“Nggaklah, Ma. Kami bawa baju-baju aja paling. Nanti kamar Tia jadi kosong dong.”

Aku mengajak Arya untuk sarapan dulu sebelum berangkat sekolah. Nasi goreng dengan telur mata sapi kesukaan bocah itu telah tersedia di meja makan. Siapa lagi yang menyiapkan, jika bukan ibuku tercinta. Ah, ia sungguh ibu yang baik, yang mengabdikan diri sepenuhnya untuk keluarga.

“Mas Rifky mau sarapan sekalian?” tanyaku.

“Nggak, nanti aja habis antar Arya. Aku siapin mobil dulu ya.”

Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di jalan. Arya berkeras untuk duduk di pangkuanku, meski sudah dikatakan bahwa bisa saja ia menindih adiknya tanpa di sengaja. Beruntung sekolahnya tak terlalu jauh, jadi hanya sebentar saja memangku bocah yang makin terasa berat itu.

Baru saja memasuki area sekolah taman kanak-kanak ini, seseorang menepuk pundakku.

“Saya gak nyangka ternyata Bunda Arya itu luarnya aja keliatan alim, tapi dalamnya busuk.”

Aku menoleh dengan terkejut, beruntung Arya telah kuserahkan pada guru yang bertugas menyambut tiap murid yang datang.

“Apa maksud Ibu Nanda?” Kutatap wanita itu tajam.

“Belum puas ya dengan lelaki yang saya liat di restoran waktu itu, sampai suami saya harus digoda juga? Biarpun kami sudah tidak serumah, tapi Bunda Arya bisa dong nunggu sampai proses perceraian kami selesai.”

Keningku berkerut. “Maaf, saya gak kenal suami ibu, jadi ibu jangan membuat fitnah tentang saya ya.”

“Yakin gak kenal Reynand Mahendra? Yang semalam hampir aja tergoda perempuan hamil yang jadi anak buahnya.”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang