“Maaf, Mas. Aku harus pergi, tolong jangan menghalangi!” ujarku dengan tatapan tajam ke arah Dimas.
“Jangan pergi, Tia. Rifky tak pantas lagi dikejar.”
“Apa maksud kamu, Mas? Tolong jangan halangi aku.” Aku menyibak Dimas ke samping, lalu meneruskan langkah.
Gugup kutekan tombol remote kunci, hingga membuatnya terlepas dari tangan. Tergopoh aku berjongkok dengan setetes air mata yang sukses terlepas. Lelaki yang tadi menahanku kini telah berdiri di hadapan saat kaki yang melemah ini berhasil berdiri lagi.
“Kalo kamu tetap berkeras pergi, biar aku yang nyetir!”
Tangan Dimas menengadah di depanku. Gugup dan ragu kuletakkan kunci di tangan yang matanya menatapku dengan penuh kesungguhan.
Dimas membukakan pintu penumpang untukku, dan menahannya hingga aku duduk nyaman di dalam. Memutar lalu duduk di belakang kemudi. Ia sempat menatapku sejenak sebelum menjalankan kendaraan.
Saat Dimas menanyakan tujuan, kuarahkan ia menuju rumah sakit elite tempatku di rawat tempo hari. Jika dugaanku benar, di sanalah Mira berada. Sayang, kondisi jalanan yang padat membuat mobil beberapa kali harus terhenti.
Setelah memarkir mobil, Dimas menuju meja resepsionis dan berbincang dengan petugas yang ada di sana. Sementara aku memindai sekeliling yang tampak ramai. Hingga aku menangkap sosok Rifky yang menghilang dibalik pintu lift yang baru saja tertutup.
“Tia, mau ke mana?” tanya Dimas saat melihatku berjalan menuju lift.
“Aku lihat Rifky di lift tadi, Mas.”
Agak terkejut ia mendengarnya, lalu membenarkan bahwa Mira memang sudah dibawa ke ruang ICU yang berada di lantai tiga. Kami berhasil masuk lift setelah mengantri sebentar, karena kondisi rumah sakit siang ini yang terbilang ramai.
Keluar dari lift, berbekal petunjuk arah yang tertempel di depan lift, kami menyusuri lorong. Hingga mataku melihat sosok Rifky di ujung koridor sana, yang tengah berbincang dengan seorang dokter pria. Di sekelilingnya ada beberapa orang yang menurut dugaanku adalah keluarga Mira.
Melihat wajah-wajah cemas di sana, seketika keberanianku menguap. Membuat langkahku terhenti dan merapat ke dinding yang ada di sebelah kiri. Sadar jika aku berhenti, Dimas pun menoleh dan mendekat.
“Kenapa berhenti Tia?”
Aku hanya mampu menggeleng pelan. Berbagai tanya serta dugaan berdesakan di benak. Semua rasa ini menghampiri bersamaan dan membuat dada ini semakin sesak. Perlahan aku berbalik, merasa keberadaanku di sini adalah sebuah kesalahan.
“Mau ke mana lagi Tia?”
“Pulang, Mas,” jawabku pelan.
“Kenapa tiba-tiba jadi begini sih, Ti? Apa yang kamu takutkan? Kamu bukan dalam posisi yang salah, Tia!”
“Aku tau, tapi rasanya kedatanganku ke sini adalah kebodohan yang nyata, Mas!” Aku mulai terisak.
“Tadi aku sudah melarangmu kan. Ya udah kalo kamu mau balik sek–”
“--Tia?” Suara yang sangat kukenal itu memotong. Ternyata ia telah mengetahui kedatanganku. Kembali kukumpulkan keberanian yang sempat terserak tadi, dan perlahan berbalik. Menatap mata cokelat itu.
“Gimana kondisi Mira, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar. Rifky meraih tanganku dalam genggamannya.
“Mira koma, Tia. Dia jatuh di kamar mandi dan kepalanya terbentur keras.”
Aku menahan napas mendengar perkataan Rifky. Seperti telah dapat mengira ke mana pembicaraan ini nantinya bermuara. “Ya Allah. Semoga Mira lekas bangun dan membaik,” ucapku pelan
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.