Part 19

13.5K 810 82
                                    

“Kamu ... Tia kan?” Sebuah sapaan mengejutkanku yang tengah mencuci tangan. Lebih terkejut lagi mengetahui siapa yang baru saja menyapa.

“Ehh, Anda ... Ibunya Mira kan?” tanyaku ragu.

Wanita itu tersenyum. Namun, kesinisan terbayang jelas di balik senyum itu.

“Kamu masih ingat saya rupanya.” Wanita itu menurunkan pandangannya ke perutku. “Kamu hamil?”

“Eh, iya, Bu.”

“Wah, selamat ya. Saya sangat bersyukur loh, Rifky pergi sebelum Mira hamil. Saya gak bisa bayangin gimana sakitnya Mira, kalo tau akan dicampakkan orang yang setengah mati dicintainya dalam kondisi hamil. Saya pikir saya juga gak akan sudi mengakui anak mereka sebagai cucu. Oke deh, jaga baik-baik suamimu, jangan sampai ada Mira-Mira yang lainnya.”

Wanita itu keluar setelah berucap demikian. Meninggalkan aku yang masih mematung di sana, dengan bulir bening yang membuat pandangan mengabur. Kejadian apalagi yang akan terjadi, Ya Allah? Kenyataan pahit seperti apalagi yang akan kudapatkan? Serta berapa banyak hinaan lagi yang harus kuterima?

Aku masih mematung saat ponsel di saku gamis berdering. Nama Rifky yang tertera di sana. Ia memintaku segera kembali, karena panggilan untuk kami telah terdengar.

Pelan kususut air mata di pipi. Kemudian menarik napas panjang berulang kali hingga sesak ini terasa berkurang. Jangan sampai ada yang mengetahui, terlebih Arya dan Rifky.

“Kok lama? Rame ya?” tanya Rifky.

Aku hanya tersenyum menanggapi. Rifky meraih tangan kananku dan mulai menyusuri garbarata.

“Pesawatnya besar ya, Bun,” ujar Arya takjub. Tangannya menarik tangan kiriku dengan tak sabar. Aku dan Rifky hanya tertawa melihat tingkahnya.

“Arya mau duduk dekat jendela!”

“Oke,” sahut Rifky.

“Mas Rifky gak trauma naik pesawat?” tanyaku setelah lepas landas.

Rifky menoleh. “Awalnya iya, tapi sekarang udah biasa aja. Arya aja gak takut, masa aku takut,” jawabnya seraya mengangguk ke arah Arya yang tengah menempelkan wajah di jendela.

“Syukurlah kalo begitu.”

Perjalanan yang masih memakan waktu selama satu jam ke depan, kuhabiskan dengan mata terpejam. Meski tak bisa benar-benar lelap, setidaknya aku tak perlu menjawab pertanyaan Rifky yang mungkin saja mulai curiga dengan aksi diamku. Ya, aku memang masih belum bisa 'move on’ dari ucapan ibunya Mira di toilet tadi.

🍀

Setiba di bandara Adi Soemarmo, sebuah mobil hitam telah menanti kami. Yang mengemudi ternyata suami dari Risa, adik iparku. Kami pun bisa sampai di kampung halaman Rifky dengan segera, karena jalanan yang memang berbeda dengan Jakarta.

Arya melihat ke luar jendela dengan tatapan takjub. Pemandangan indah bak permadani menguning yang memanjakan mata. Rifky sibuk menjelaskan bahwa musim panen hampir tiba. Kemudian menerangkan proses demi proses yang dilalui padi hingga akhirnya siap disantap. Sungguh, ia adalah sosok ayah yang baik.

Di rumah kelahiran Rifky telah berkumpul saudara dan kerabat, yang memang sengaja meluangkan waktu untuk hadir di hari itu. Selain itu, rumah diramaikan pula oleh para tetangga yang membantu segala persiapannya. Kehidupan bermasyarakat yang kental masih sangat terasa di sini.

Risa menyambut dan memelukku dengan hangat. Wajahnya semringah saat mengelus perutku. Lalu memeluk Arya dengan hangat.

“Doain Risa cepat nyusul ya, Mbak.”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang