“Arya … tunggu bunda, Nak.”
Aku berteriak memanggil bocah lima tahun yang menghilang di balik pintu kaca. Sementara aku tertahan karena masih mencari tempat yang pas untuk meletakkan payung basah ini.
“Ian, susul Arya, ya. Dia ngilang cepet banget.” Tian, adikku yang baru saja tiba di pelataran toko ini segera kuperintahkan mengejar Arya.
Kulayangkan pandang sekeliling toko yang sedang kebanjiran pengunjung, meski di luar hujan turun sangat deras. Ke mana mereka berdua? Cepat sekali menghilang.
Kususuri rak demi rak yang berisi mainan, banyak sekali koleksinya. Arya bisa-bisa susah diajak keluar nih. Kalau bukan janji, sungguh aku lebih memilih untuk merebahkan diri di ranjang yang empuk.
Ah, itu Tian. Sosoknya yang tinggi mudah terlihat dari jarak jauh. Kutepuk bahunya perlahan.
“Mana Arya?”
Tian menjulurkan tangan, menunjuk seorang anak laki-laki yang tak jauh di depan sana. Aku segera mendekat dengan senyum di wajah.
Sayang, senyum itu seketika menghilang, demi melihat siapa sosok yang tengah berjongkok di depan Arya.
Dadaku terasa sakit akibat jantung yang memukul terlampau keras. Bulir bening mulai membayang di mata. Ah, mimpi buruk apalagi ini?
Samar terdengar percakapan mereka.
“Siapa namanya?”
“Arya, Om.”
“Arya siapa?”
“Arya Sigit Pradana.”
“Ke sini sama siapa?”
“Sama bunda.” Arya menoleh ke kanan dan kiri, hingga matanya berhasil menemukanku yang berdiri lima langkah di belakangnya.
“Itu bunda Arya.”
Laki-laki itu pun berdiri. Menatapku dengan tersenyum. Sungguh, jika situasinya tak seperti ini, mungkin aku akan menyangka dia salah satu oknum penculik anak, seperti yang sering kubaca di artikel di media sosial. Mengingat sikap manis dan pertanyaannya tentang nama lengkap Arya tadi.
Namun, rupanya otak dan hatiku sedang tak bisa diajak kompromi saat ini. Salah satunya memerintahkan untuk curiga, sementara yang lain mengharuskanku untuk mencari sebuah penjelasan.
Sebuah nama tersebut di kalbu berulang kali, demi menatap wajah lelaki yang kini mendekat dengan tersenyum. Ia mengulurkan tangan hendak menjabat tanganku.
“Halo, bundanya Arya, ya?”
Gugup kuangkat tangan untuk kemudian tertangkup di depan dada. Ya, aku menolak berjabatan tangan dengan lelaki yang tampak tak asing di hadapanku itu.
“Oh, maaf. Perkenalkan saya Reyhan, tapi bisa panggil Rey aja. Saya di sini hanya membantu pemilik toko ini memberikan angket yang harus di isi para pengunjung, demi perbaikan dan kemajuan toko ini. Karena itu, izinkan saya meminta bunda Arya untuk mengisi angket ini. Kami sangat berterima kasih atas masukan yang membangun dari bunda Arya.”
Lelaki itu menjelaskan panjang lebar. Sementara aku hanya bisa menunduk, sibuk menenangkan degup jantung yang berkejaran. Lalu gemetar menerima bolpoin dan selembar kertas yang terkena setetes air yang telah setengah mati kutahan. Bersamaan dengan lelaki itu berbalik dan menjauh, setelah kedatangan seorang perempuan muda yang menggamit tangannya mesra.
“Toko mainan kok pake angket segala sih. Aneh.” Tian tiba-tiba sudah ada di sebelahku.
Kuhapus setitik air mata lagi dengan kasar. Lalu menyerahkan kedua benda itu pada Tian. “Kamu aja nih yang isi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
Roman d'amourKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.