Part 17

11.4K 760 57
                                    

“Andai kamu tau, Tia. Betapa besar harapanku jika yang diucapkan ibu tadi benar adanya, bahwa bayi yang saat ini kamu kandung itu adalah anakku. Aku pasti akan sangat bahagia, Tia. Terlebih Arya sudah seperti anakku sendiri,” ujar Dimas dengan kepala tertunduk.

Hatiku serasa terhempas mendengarnya. Apa ini yang dimaksud Rifky tempo hari? Seburuk itukah aku dalam pandangan mereka?

Kembali aku berbalik menuju jalan raya. Entah apa yang tengah kurasa saat ini, yang pasti aku hanya ingin menjauh dari semuanya.

"Tia, tunggu! Maafkan ucapanku. Aku hanya gak mau kamu terluka lagi." Dimas kembali menarik lenganku dan membawa tubuh ini dalam dekapnya.

Plak!

Dimas memegang pipi kirinya, setelah kulayangkan tangan kananku, saat ia nyaris menyentuhkan bibir kami. Setengah berlari aku menuju jalan raya dan menyetop taksi yang kebetulan lewat.

Baru saja menutup pintu, tiba-tiba kaca sebelahku digedor-gedor. Tampak Dimas berusaha membuka pintu yang telah kukunci. Segera kuperintahkan bapak supir segera berlalu dari tempat itu.

Bodoh kamu, Tia. Pantas aja beredar gosip begitu, toh kelakuanmu seperti itu. Kamu tahu kan kalo Dimas itu bukan mahram-mu. Sekarang apa bedanya kamu dengan suamimu yang tergoda oleh wanita lain?

Aku sibuk merutuki diri sendiri, hanya air mata yang kian menderas, yang menemani perjalanan selama empat puluh lima menit ke depan.

Kondisi rumah telah sepi, saat aku tiba. Lampu ruang tamu pun telah dimatikan. Baru saja membuka tas, hendak mencari kunci cadangan, tiba-tiba pintu telah terbuka. Seraut wajah yang muncul di ambang pintu, sukses membuatku terpaku, dengan air mata yang kembali menggenang.

Kupalingkan wajah saat bulir bening ini meluncur dari sudut mata. Berharap agar lelaki di depanku tak sempat melihatnya. Sayang, ia malah menghampiri dan memeluk tubuh ini. Erat.

Alih-alih berontak, aku malah tersedu di dadanya. Menumpahkan semua sesak yang sejak tadi mengganjal. Sementara, ia hanya terdiam, dan memberi tempat ternyaman untuk tangisku.

Setelah agak tenang, kuangkat wajah ini, mencari sepasang mata cokelat yang selalu kurindu. Mata itu kini menatapku lekat, lalu jemarinya mengusap sisa air mata di pipi dan mengecup keningku.

“Mas Rifky kapan nyampe?”

“Tadi sore.” Jemarinya masih saja mengusap pipiku, lembut.

“Langsung ke sini?”

“Iya. Kangen berat soalnya. Yuk, masuk!” Rifky membimbingku masuk. Sekilas aku melihat sebuah mobil silver melintas di depan rumah. Dimas.

🍀

Perlahan kami menaiki anak tangga, tanpa ada satu kata pun yang terucap, hanya jemari yang masih saling menggenggam. Rasanya telah lama sekali tak merasakan genggaman dari tangan kukuh lelaki di sisiku.

Sungguh tak kupungkiri bahwa sejak melihat wajahnya di ambang pintu tadi, sebuah kenyamanan menyelusup dalam kalbu. Menggantikan sesak akibat kejadian yang kualami beberapa jam lalu.

Setiba di kamar, kulihat Arya telah terlelap dengan selimut yang menutupi tubuh kecilnya. Beberapa buku tampak masih terserak di sebelahnya. Segera kuambil dan bermaksud meletakkannya di rak di atas meja rias.

“Maaf belum sempat kurapikan, tadi aku buru-buru keluar waktu liat kamu turun dari taksi,” ujar Rifky sambil mengambil buku-buku itu dari tanganku. Aku hanya tersenyum melihatnya, lalu membuka lemari putih, mencari handuk bersih.

“Mau aku siapin air hangat?” tanya Rifky.

Aku menggeleng. “Gak mandi, cuma cucian aja.”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang