Part 14

11.1K 895 167
                                    

“Tia, tolong pergi dari sini ya, Ibunya Mira sedang terpukul karena kepergian anaknya,” bujuk Rifky.

Dimas menarik paksa lenganku meninggalkan areal pemakaman tersebut. Sementara air mata mulai menggenang membuat pandanganku mengabur.

“Lepasin, Mas! Sakit!” Aku menghentak lengan yang berada dalam pegangan Dimas. Dia berbalik dan terkejut melihatku mengusap lengan, baru menyadari jika pegangannya tadi terlalu kencang.

“Maaf, Tia. Kamu mau tetep ke kantor?”

“Iya,” jawabku pelan. Dimas membukakan pintu mobil untukku. Baru saja akan naik, tiba-tiba sebuah tangan menahanku. Saat aku berbalik, lelaki itu langsung meraihku dalam dekapan. Membuat mataku membulat sempurna.

“Mas ….”

“Maaf ya, Sayang. Bukan bermaksud mengusir, hanya mencegah jangan sampai terjadi keributan di sana.”

Tanpa kusadari, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir juga, membasahi baju Rifky. Dia melepas dekapannya saat mendengar isakanku.

“Aku nyakitin kamu lagi ya? Maaf banget ya.” Rifky membingkai wajahku yang basah dengan kedua tangannya. Menyeka air mata dengan ibu jari. Aku masih belum sanggup berkata-kata.

“Tia … ayo, kita udah terlambat ke kantor!” Dimas yang sempat mematung, akhirnya bersuara.

“Biar aku yang antar Tia ke kantor,” timpal Rifky.

“Tapi Tia ke sini sama aku, jadi aku yang akan anter dia.”

“Aku suaminya, aku yang lebih berhak anter Tia.”

“Seorang suami akan lebih mengutamakan istrinya daripada wanita lain!” sarkas Dimas.

“Kalo gak tau apa-apa, tolong jangan ikut campur, Mas. Ini urusanku sama Tia.”

“Mungkin bukan urusanku, Ky, seandainya bukan aku yang mergokin kamu bareng wanita itu tempo hari.”

“Udah. Udah. Tolong jangan ribut di sini! Biarin Mira tenang di tempat barunya.” Aku menatap tajam pada mereka berdua. Kemudian mengamati seraut wajah yang telah beberapa hari ini menjadi penyebab segala dukaku. “Aku tetap pergi bareng Dimas, Mas. Maaf.”

Aku berbalik menuju mobil Dimas kembali. Tak mengacuhkan lagi panggilan Rifky, aku naik ke mobil yang segera berlalu dari sana.

Sepanjang perjalanan, susah payah kusembunyikan sesak yang akhirnya keluar menjadi isakan. Dimas hanya terdiam, tangannya terkepal kencang pada kemudi, dengan pandangan tetap lurus ke depan.

🍀🍀

[Tia, kamu udah pulang? Aku ada di depan kantor, tapi kayaknya udah gak ada orang.]

Pesan WhatsApp dari Dimas masuk saat mobil yang dikendarai Rifky memasuki gerbang tol. Kulirik lelaki di sebelah yang pandangannya fokus pada jalanan di depan.

Merasa bersalah pada Dimas yang telah repot-repot menjemput, sementara aku memilih pulang dengan Rifky saat melihat mobilnya telah ada di depan saat jam pulang kantor. Selain karena tak tahu kalau Dimas akan menjemput, aku tak enak jika papa melihat nanti.

“Kok diem aja? Kenapa? Laper ya?” sapa Rifky.

Aku menoleh setelah membalas pesan Dimas. Terdiam. Menikmati senyum yang telah lama hilang itu. Yang entah mengapa malah menambah goresan di hati. Terbayang berapa banyak lengkungan senyum itu telah diberikannya pada Mira. Tanpa sadar kuhela napas panjang.

“Kenapa? Masih marah? Berapa kali lagi aku harus meminta maaf?” Tangan kirinya meraih tangan kananku untuk digenggamnya erat. Aku yang tiba-tiba kehilangan kata-kata membiarkan hal tersebut.

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang