Aku melangkah menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, entah karena lantai yang licin atau aku yang kurang hati-hati, aku terpeleset dan jatuh terduduk di lantai yang basah.
Detik berikutnya terdengar ketukan di pintu. “Mbak? Gak apa-apa?”
“Gak apa-apa, Ris,” sahutku sembari meringis karena memaksa tubuh untuk berdiri. Namun, saat itu juga terasa ada sesuatu yang pecah di bawah sana, dan air hangat mengalir di sela-sela kaki.
Ya Allah, apa ini?
Gemetar tangan ini meraih hendel pintu dan membukanya. Risa terkejut melihat gamisku yang basah di bagian bawah.
“Ya Allah, Mbak, kok basah gini? Jatuh ya tadi?”
“Iya, Ris. Kayaknya ketubanku pecah deh. Bisa tolong telponin Mas Rifky, Ris.”
Tanpa perlu diulang, Risa segera berlari menuju meja kasir, tempat ia biasa meletakkan tas dan ponselnya. Lantas menekan layar pipih itu sebelum menempelkan di telinga. Berbicara dengan panik dan tak lama segera menghampiriku, setelah meletakkan ponsel kembali.
“Mbak minum dulu ya. Harus banyak minum kan ya. Jangan panik yaa, Mas Rifky udah putar balik ke sini lagi. Atau mau ke rumah sakit duluan? Biar Mas Rifky nyusul ke sana aja?”
“Masih lama gak, Mas Rifky? Kalo udah terlanjur jauh, biar kita duluan aja.” Kuambil segelas air dari tangan Risa dan meneguknya hingga ludes. Kuusap pelan makhluk mungil yang masih bergerak aktif di perut. Sabar ya, Sayang, bunda gak akan biarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu.
“Kayaknya sih udah lumayan jauh, Mbak. Mau nunggu apa duluan? Mumpung mobil ada nih.”
“Ya udah, tunggu sebentar lagi aja, Ris.”
“Risa tengok anak-anak dulu ya, Mbak. Sepuluh menit Mas Rifky gak nyampe, Risa antar ke rumah sakit ya.”
Risa kemudian menuju belakang kafe, dimana di sana terdapat ayunan, tempat favorit Arya dan Dinda. Kutarik napas dalam-dalam, mengaturnya agar bayi ini tetap mendapat pasokan oksigen yang cukup. Sementara air ketuban masih mengalir pelan di sela-sela kaki.
Detik berikutnya pintu terbuka, wajah Rifky muncul di ambangnya dengan raut penuh kecemasan. Setengah berlari mendekat lalu berjongkok di depanku.
“Gimana? Yuk kita ke rumah sakit.” Matanya sibuk menatapku dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Demi melihat anggukan kepalaku, Rifky langsung mengangkatku dalam gendongan dan berjalan menuju mobil.
“Titip Arya, Ris!” seru Rifky pada Risa yang tiba-tiba muncul di belakang kami.
“Iya, Mas. Hati-hati ya. Nanti kami nyusul, anak-anak masih pada makan.”
Secepat kilat Rifky melajukan kendaraan dengan wajah cemas. Tangan kirinya tak lelah menggenggam tangan kananku berusaha menyalurkan kekuatan. Atau mengusap lembut perutku. Sementara aku merasa masih memiliki kekuatan menerima gelombang cinta yang semakin menguat ini. Ya, aku masih bisa tersenyum, sambil sesekali mengusap wajah yang berkeringat di sisiku.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di rumah sakit tempatku memeriksa kandungan sejak memutuskan hijrah ke sini. Petugas yang berjaga di depan dengan sigap mengambil kursi roda saat aku turun di lobby. Lantas mendorongku menuju ruang bersalin, sementara Rifky mengurus administrasi setelah memarkir kendaraan.
“Nanti aku nyusul ya,” ucapnya dengan raut yang susah digambarkan, seraya mengecup puncak kepalaku.
Para perawat dan bidan sigap membantuku berpindah dari kursi roda ke ranjang. Dokter kandungan langganan kami pun masuk beberapa menit kemudian. Lantas melakukan berbagai pemeriksaan, memastikan kondisi bayi ini baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Hati
RomanceKisah perjuangan Tia memperoleh kembali cinta suaminya. Di lain pihak, telah ada seseorang yang menanti jika ia memilih untuk menyerah. Cerita ini sekuel dari cerbung sebelumnya yang berjudul Secret Admirer, yang telah tamat di Facebook.