Part 18

9K 654 45
                                    

“Sayang … bangun, udah Subuh nih, kamu belum mandi loh.”

Sebuah suara mengusik telingaku. Aku hanya menjawab sekenanya lalu terlelap kembali.

“Sayang, azan nih. Nanti kesiangan loh.”

Suara itu lagi-lagi mengusik tidurku. Perlahan mata ini membuka. Mas Rifky?

“Baru juga azan, Mas. Bentar lagi.”

“Tapi kamu belum mandi.”

Hah? Mandi? Segera aku terduduk, mengamati tubuh sendiri yang masih berpakaian lengkap. Lalu mendelik ke arah lelaki di sebelahku yang tengah tersenyum jahil.

“Mandi apa?”

“Mandi pagilah. Kamu semalam gak mandi kan. Aku tidur sambil tahan napas tau.”

Aku mengembuskan napas pelan. Syukurlah, tak seperti yang disangka. Aku tertawa geli mengingat apa yang terpikirkan tadi.

“Kenapa nyengir? Pasti mikir yang aneh-aneh, ya kan?” goda Rifky.

Aku lagi-lagi mendelik padanya. “Salah sendiri banguninnya begitu.”

“Tapi kamu jadi cepat bangun kan.” Rifky tertawa seraya berjalan ke kamar mandi bersama Arya yang berhasil dibangunkan sebelum aku. Bocah itu tampak gembira, mungkin karena hadirnya sang ayah.

Aku tersenyum geli. Ya, memang seperti itulah cara Rifky dulu bila ingin membangunkanku. Mengucapkan hal-hal yang membuatku terkejut hingga akhirnya terbangun.

Setelah bergantian berwudhu, kami mendirikan sholat Subuh berjamaah. Aku mengaminkan segala doa yang dipanjatkannya. Terlebih saat doa untuk kebaikan keluarga kecil kami, air mataku mengalir satu per satu. Teringat betapa berat langkah kami, hingga bisa sampai di titik ini.

🍀

“Kamu kuantar aja ya ke kantor. Jadi mau izin kan?” tanya Rifky saat melihatku telah rapi dengan tunik selutut dan rok pink panjang serta jilbab pastel.

“Arya gimana? Katanya tadi minta dianter Mas Rifky.”

“Nanti aku coba ngomong sama Arya.”

Rifky mendekati Arya yang masih menghabiskan sarapannya di meja riasku. Entah kenapa bocah itu tiba-tiba ingin makan pagi di kamar. Sementara aku segera turun dan bersiap berangkat.

Baru saja menuruni beberapa anak tangga, mama memanggilku. Kupercepat langkah dan tertegun sesaat, setibanya di depan wanita yang telah melahirkanku itu.

“Bu Hana …,” ucapku pelan.

Mama berdiri dan mendekatiku. Berbisik bahwa Ibu Hana datang untuk mencariku. Aku mengangguk pelan, kemudian duduk di sofa di sebelah kiri wanita itu. Sementara mama duduk di sisiku.

“Maaf, Bu. Ada apa ya pagi-pagi begini cari saya?” tanyaku dengan khawatir.

Ibu Hana memperhatikanku dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi. Membuatku ikut melihat tubuh sendiri, rasanya tak ada yang salah dengan pakaianku. Namun, rasa khawatir ini tetap tak mau lenyap.

“Saya dengar kamu lagi hamil, Tia?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, Bu.”

“Berapa bulan?”

“Jalan enam bulan, Bu.”

“Apa benar kabar yang beredar, bahwa anak yang kamu kandung itu cucu saya? Alias anaknya Dimas?”

Mataku membulat mendengar ucapan wanita itu. Aku dan mama berpandangan sejenak. Ya Allah, kabar itu lagi. Malah ditanyakan oleh Ibu Hana yang memiliki hubungan dengan dia yang menjadi pusat dari berita ini selain diriku.

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang