Part 8

7.9K 579 20
                                    

Aku masih berkutat di depan laptop, tugas kuliah harus dikumpulkan malam ini juga. Sementara waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB.

Rifky baru saja keluar dari kamar mandi dan langsung merebahkan diri di ranjang. Kutengok dirinya dengan wajah memelas.

“Kenapa masang muka begitu?” tanyanya datar.

“Bantuin donk.”

“Suruh siapa keasyikan nonton film sampe lupa waktu. Udah ya, ngantuk nih, besok ada meeting.” Rifky menarik selimut dan berbalik.

Ahh, tegaaaa. Aku lagi kesusahan begini, malah ditinggal tidur. Memang salahku tadi siang keasyikan nonton film, tapi kan dia juga yang membelikannya.

Baiklah, kita lembur malam ini ya, Nak, kuusap perut yang mulai terlihat membuncit. Membolak-balik kembali catatan dengan tergesa. Waktu pengumpulan tersisa dua jam lagi, sementara pekerjaanku belum ada setengahnya.

Tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggang dan mengelus perutku. “Mau dibantuin?” bisiknya lirih di telingaku.

“Gak usah.” Kupasang wajah angkuh, padahal hati bersorak gembira.

“Yakin?” godanya. Kuanggukkan kepala yakin.

“Oke, kalo begitu aku tidur lagi. Berharap aja kamu gak didoakan jelek sama malaikat ya.”

Eh, maksudnya apa nih? Kuputar tubuh hingga menghadap lelaki itu. Bertanya melalui tatapan mata. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, dan aku mengerti arti tatapan penuh hasrat yang tersimpan dibaliknya itu.

“Tapi bantuin Tia dulu ya,” tawarku.

“Masih banyak?”

“Masih separuh jalan lagi,” aku tertawa kecil.

Ia menepuk dahinya pelan. “Oke deh, aku bantuin, tapi bangunin ya. Jangan sampe kesiangan, masa mau ke kantor gak pake mandi, gak bisa Jumatan dong.”

Aku tertawa mendengarnya. Terbayang pasti akan menjadi pertanyaan besar bagi orang-orang sekantor jika seorang General Manager absen sholat Jumat.

Rifky segera mengambil alih laptop dan mengerjakan tugasku dengan sigap. Sementara, aku melipir ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi dan cemilan. Dopping untuk lembur kami malam ini.

🍀🍀🍀

“Mas … Rifky ….”

“Tia.” Sebuah sentuhan di pipi sukses membuyarkan gambaran indah itu. Sebuah slide dari suatu masa yang pernah kujalani.

Perlahan mataku mengerjap, menatap sesosok wajah yang pertama kali tertangkap. Wajah yang muncul pada film pendek yang tadi sempat terasa nyata, tapi dengan aura yang berbeda.

Seolah terlempar kembali pada kenyataan yang menyakitkan setelah dibawa terbang hingga langit ke tujuh, membuat air mata ini tak sanggup dicegah lelehannya.

“Kamu nangis, Tia?” Wajah itu terlihat khawatir. Mengulurkan tangan hendak mengusapnya. Namun segera kupalingkan wajah, menghindari sentuhannya.

“Sepertinya aku penyebab tangisan itu. Katakan apa yang harus kulakukan, Tia?” ucapnya lirih.
Aku menoleh kembali ke arahnya.

Mata itu menatap begitu lembut, seperti dahulu. Menghipnotisku dalam dunianya yang dahulu mengalir begitu tenang. Tatapan yang selalu kurindukan.

“Jika kuminta untuk meninggalkan Mira, apa Mas Rifky akan mengabulkannya?”

Ia terdiam lama, sebelum akhirnya menjawab. “Beri aku waktu sedikit lagi, Tia. Aku janji akan mengabulkan permintaanmu.”

“Sampai kapan, Mas?”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang