Part 16

9.5K 675 138
                                    

“Assalamu'alaikum,” ucapku seraya membuka pintu.

Arya yang tengah telungkup di lantai bergegas menghampiri sambil memeluk tubuhku. Wajahnya berseri-seri. “Bunda udah pulang.”

Aku pun berjongkok, mensejajarkan diri dengan bocah itu, lantas membalas pelukannya. “Arya lagi ngapain?”

“Maen lego, Bun. Arya lagi bikin istana buat bunda dan adek bayi.”

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Memandang bening bola mata yang selalu menunjukkan ketulusan itu. “Oh ya? Mana coba bunda liat.”

Dengan semringah Arya menunjukkan sebentuk bangunan yang dibuat dari susunan lego itu. Meskipun masih jauh dari kata sempurna, tapi bangunan tersebut sudah rapi, seperti saat menyusunnya bersama Tian. Adik lelakiku memang paling jago dalam hal itu. Sayang, sejak menikah Tian memutuskan untuk mengontrak rumah sendiri, belajar mandiri katanya.

Aku sempat menawarkan pasangan suami istri baru itu untuk menempati rumah yang dibangun Rifky dulu, dengan alasan agar ada yang merawat. Namun, Tian menolak, katanya jiwa dari rumah itu adalah aku, Rifky dan Arya. Jadi, saat jiwa pergi, rumah pun akan terasa berbeda. Entah apa maksud dari perkataannya, mungkin Tian masih berharap keluarga kami akan bisa bersatu kembali seperti dahulu.

“Bunda … Arya boleh kasih liat istana ini ke ayah?” tanyanya penuh harap. Membuyarkan lamunanku. Setelah berpikir sejenak, kuraih ponsel di tas, lantas menyerahkannya pada Arya. Kemudian berlalu menuju kamar di lantai dua, meninggalkan bocah yang tengah melakukan 'video call’ dengan ayahnya.

Tiga bulan berlalu sejak Rifky berpamitan karena ibu mertuaku yang sedang sakit di kampung. Selama itu pula Arya rajin menghubungi ayahnya, lewat chat atau video call. Khusus untuk kegiatan yang satu itu, kuizinkan Arya bersentuhan dengan 'gadget’.

Aku? Tentu saja tak ikut dalam obrolan mereka. Sengaja berlama-lama di kamar mandi atau di meja makan. Jadi, saat kembali ke kamar, biasanya kegiatan itu sudah berakhir. Arya sendiri, seringkali memberitahu bahwa ayahnya menanyakan keadaanku, yang biasanya akan dijawab baik oleh bocah itu. Atau bertanya kapan jadwal kontrol ke dokter, lalu meminta Arya untuk menemani dan menjagaku juga adik bayi.

Meski tak percaya, tapi nyatanya bocah itu kini mulai cerewet mengingatkanku jika lupa minum vitamin. Atau berkali-kali menelepon menggunakan ponsel mama atau papa, hanya sekadar mengingatkan agar tak terlambat makan. Untuk yang ini aku mesti berterima kasih, karena penyakit lambungku akan kambuh jika telat diisi.

Selesai membersihkan diri, kudekati Arya yang telah berada di kasur dengan buku di tangan. Perlahan merebahkan diri di sisinya.

“Arya baca apa?”

“Kisah Rasulullah sebagai ayah. Bagus deh, Bun. Rasulullah itu ayah yang baik banget sama anak-anaknya. Ayah Arya begini juga kan, Bun?”

Mataku mengerjap mendengarnya. Tanpa sadar aku menghela napas. Perlahan seulas senyum terbit di wajahku. Berharap mampu menenangkannya. “Insya Allah ya, Nak.”

Namun, tanpa diduga Arya malah menunduk. Wajah yang selalu berbinar itu tampak seperti awan yang siap menumpahkan titik-titik hujan. “Arya kenapa? Kok malah sedih?”

“Arya kangen ayah ….”

“Loh kan tadi abis ngobrol sama ayah.”

“Arya mau main sama ayah, mau dibacain buku lagi, ditemenin tidur lagi….”

“Kan ayah sekarang lagi nemenin uti yang lagi sakit di kampung. Nanti juga ayah ke sini lagi, Arya bisa main lagi.”

“Tapi waktu itu Bunda bilang mau pisah kalo adik bayi lahir….”

Serpihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang