Assalamu'alaikum....
Salam kenal semuanya,
Terima kasih sudah berkenan singgah di karyaku yang sedang ikut dalam event menulis 25 hari Samudera Printing.Oh iya, Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
~~~~~~~
Kenapa jadi seperti ini?
Setelah sekian lama,
Kenapa harus terhenti sampai di sini?
Apakah semesta memang tak mengizinkan kita bersatu?
***
Aku menghela napas kasar. Sepasang mata bulatku menatap lurus ke depan. Memandang lekat laki-laki yang sedang duduk di hadapanku saat ini. Masih mengenakan seragam kerja dengan raut wajah penuh lelah dan mulut yang terkatup rapat.
"Bagaimana kabarmu?" tanyaku setelah sekian lama terdiam.
Laki-laki bernama lengkap Fadhil Alfiansyah itu tersentak, perlahan mengangkat wajah. Menatap sayu diriku sekian detik lamanya, namun kembali memalingkan wajah ke jendela tanpa memberikan jawaban. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya sejak ia mendudukkan tubuh di sana. Terdiam membisu sambil mengamati tetesan hujan yang turun satu persatu ke permukaan tanah.
Cuaca sore ini memang tampak suram. Awan hitam menggantung di langit pekat. Beberapa kali petir terdengar bergemuruh diikuti dengan gerimis-gerimis kecil yang terjatuh dari langit. Seakan alam pun tahu kegalauan kami yang terduduk saling berhadapan di salah satu sudut kafe yang terletak di jantung kota Makassar.
Bola mataku terasa panas dan berkabut mengamati penampilannya. Wajah tampannya sudah terlihat samar dengan adanya cekungan hitam yang tampak menghiasi di bawah mata, ditambah rambut-rambut halus yang terlihat mulai tumbuh tak beraturan di bawah dagu. Tubuhnya yang dulu selalu kubanggakan seperti seorang atlet kini entah hilang ke mana. Padahal baru sebulan lamanya aku tak bersua dengannya.
Ya, itu semua karenaku. Selama enam bulan terakhir ini Fadhil mati-matian berjuang demi bisa menghalalkanku. Bekerja siang malam tanpa kenal lelah. Tapi, segala usaha dan jerih payahnya seakan tak berbanding lurus dengan apa yang kami harapkan.
"Dhil, kenapa diam saja? Apa kamu tak merindukanku?" tanyaku lagi. Namun sepertinya Fadhil masih betah membisu.
Jika saat ini Fadhil hanya bisa terdiam. Aku bisa memahami. Laki-laki itu sama gelisahnya denganku. Tidak! Bahkan mungkin Fadhil jauh lebih gelisah, karena beban yang dipikulnya saat ini amatlah berat.
Enam bulan sudah terlewati batas waktu yang diberikan orang tuaku padanya. Tapi sepertinya Fadhil belum mampu memenuhi permintaan mereka yang sangat tidak masuk akal.
Enam bulan yang lalu, Fadhil bersama kedua orang tuanya datang melamar. Aku menyambut kedatangan mereka dengan begitu sukacita. Tapi, ternyata tidak begitu dengan ke dua orang tuaku. Aku sadar jika dari dulu mereka memang tidak begitu setuju dengan Fadhil, namun aku tak pernah mau menyerah. Selalu berusaha meyakinkan mereka jika Fadhil adalah sosok laki-laki baik yang taat agama, bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Laki-laki yang sangat menjaga kehormatanku.
Namun ternyata semua usahaku sia-sia, saat keluarga Fadhil datang mengutarakan keinginan untuk meminang, orang tuaku malah memasang tembok tinggi yang tak akan pernah bisa digapai oleh Fadhil sedikit pun.
Sebuah tradisi turun temurun yang begitu kuat dari adat istiadat suku keluargaku berasal, membuat batasan yang begitu jelas. Sesuatu yang disebut 'Uang panaik' menjadi penghalang besar bagi seorang Fadhil. Membuat keluarga Fadhil langsung menciut dan angkat kaki tanpa mau berunding sama sekali. Mereka sadar, diberikan waktu selama apa pun mereka tak akan mampu memenuhi permintaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
Ngẫu nhiênSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...