PRASANGKA

30 4 0
                                    

Suara lembut yang masih samar-samar terdengar itu menyusup ke gendang telinga, sedikit menarik kesadaranku dari alam mimpi. Aku mengerjapkan mata beberapa kali hingga akhirnya kubuka perlahan. Senyum penuh kehangatan langsung menyambut di depan mata. 

“Sayang, sudah subuh,” ucap sang pemilik senyum mencoba menyadarkanku yang masih menatap kosong dirinya. “Sayang, nanti subuhnya lewat...” lanjutnya lagi sembari mengusap-usap lembut pipiku.

“Hm ....” gumamku. Sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling, kulihat jam dinding menunjukkan pukul lima pagi. Fajar baru saja menyingsing, tampak langit di luar sana masih kelabu.

Dua rakaat salat sunah fajar, kemudian salat fardu Subuh kami laksanakan dengan khusyuk. Fadhil menjadi imam dengan bacaan yang begitu fasih. Kudengar Fadhil sempat masuk pesantren selama tiga tahun saat SMP, dan akhirnya melanjutkan ke SMA umum di mana kami bertemu.

Setelah berzikir dan berdoa, Fadhil berbalik dan menjulurkan tangan kanannya. Aku tersenyum dan segera menyalaminya. Kurasakan kepalaku yang berbalut mukena di usapnya dengan lembut.

“Sayang,” lirihnya pelan sambil mengelus punggung tanganku. Terdiam menatapku selama beberapa saat. “Seandainya ..., seandainya saja hubungan kita tiba-tiba berakhir, aku ingin kamu bisa mengikhlaskannya dan melupa-“

“Bicara apa sih?” potongku cepat. Kutarik tanganku dengan kesal, namun Fadhil masih menahannya dengan kuat.

“Kan seandainya sayang.”

“Iya aku tahu, tapi aku tak suka kamu bicara seperti ini! Kamu mau meninggalkanku?”

Fadhil menggeleng, kembali mengusap lembut punggung tanganku. “Kita tidak bisa memprediksi apa pun yang ada di depan sana sayang. Bisa saja 'kan itu terjadi? Jodoh dan maut semuanya sudah di atur oleh Allah SWT. Semuanya hanya masalah waktu.”

Mendadak detak jantungku tak beraturan. Rasa khawatir dan cemas langsung mendera. Membuat nafasku terasa berat.

“Kamu sakit?” tanyaku curiga.

Lagi-lagi Fadhil tersenyum dan menarik gemas ujung hidungku. “Alhamdulillah aku sehat sayang. Hingga detik ini, alhamdulillah aku sehat walafiat.

“Lalu apa maksudmu bicara seperti tadi? Tanpa kamu jelaskan, aku juga tahu. Tapi kutegaskan sekali lagi, selagi aku dan kamu masih hidup, maka aku tidak akan pernah menyerah. Kuharap kamu juga begitu!”

“Sayang, aku hanya manusia biasa.”

“Aku tahu. Aku juga manusia biasa sepertimu. Lalu masalahnya di mana? Kamu ragu menikah denganku?” Nada suaraku naik satu oktaf.

Fadhil menggeleng cepat. Menggenggam erat tanganku dengan dua tangan. “Aku mencintaimu sayang. Sangat. Bahkan jikalau bisa aku ingin menikahimu saat ini juga. Detik ini juga.”

Kuredam amarahku mendengar ucapannya itu. Namun kini mataku malah berkaca-kaca menahan sesuatu yang mulai menggenang di pelupuk mata.

“Dhil, hanya kamu yang ada di sini.” Kutunjuk dadaku.

“Ada di sini.” Kutunjuk kepala.

“Ada di sini.” Kutunjuk mata.

“Hanya kamu seorang. Hanya kamu Dhil. Jadi jangan pernah membuatku membayangkan hidup tanpa dirimu. Denganmu atau tidak dengan siapa pun!” tegasku dengan setetes air mata yang mulai terjatuh membasahi kedua pipi.

Fadhil menarikku dengan cepat ke dalam pelukannya dan aku pun terisak dalam dekapannya. “Maaf sayang, aku tidak bermaksud seperti itu, maaf ....” lirihnya, mengusap lembut punggungku yang masih berbalut mukena.

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang