Begitu masuk ke dalam ruangan Paviliun Deluxe itu, mamaku langsung menghambur memeluk ibu paruh baya yang berada di samping brankar seorang gadis kecil.
Mereka saling cipika cipiki dan mengulas senyum yang sangat lebar. Seakan sudah lama tak bertemu, hingga melupakan keberadaan diriku dan pak Udin.
Ah, iya Pak Udin!
Aku refleks berbalik ke pak Udin yang terlihat sudah kelelahan mengangkat parcel buah yang lumayan berat di tangannya.
"Taruh di sana saja pak Udin," ucapku menunjuk ke arah meja di depan sofa tamu. Pak Udin mengikuti instruksiku lalu beranjak keluar ruangan.
Sementara aku langsung menghampiri gadis kecil yang sedang disuapi oleh seorang baby sitter sambil menonton acara kartun dari TV LED yang terpasang di dinding ruang kamar perawatan itu.
"Umi, ini loh yang namanya Tenri. Lebih cantik aslinya 'kan?" Mamaku memperkenalkan dengan begitu bangga. Aku tersenyum kikuk sembari mengulurkan tangan kanan kedepan kenalan mamaku itu.
"Iya, Masya Allah dia sangat cantik dan pintar. Sangat berkharisma sebagai seorang dokter. Saya sudah pernah bertemu dengannya saat di ruang IGD. Kebetulan dia yang memeriksa Dita waktu itu," terangnya seraya menjabat tanganku. Terlihat pujian ibu itu terlihat tulus dengan mata yang berbinar-binar memandangiku.
"Terima kasih pujiannya, Tante-"
"Umi, panggil Umi saja," selanya meralat panggilanku. Ibu yang sangat terlihat kalem dan lembut itu tersenyum lembut padaku. Dandanan dan tampilannya terlihat sederhana namun begitu elegan. Di jarinya hanya tersemat satu cincin silver, tapi sesuatu yang berkilau di tengahnya sudah dapat dipastikan kalau itu sebuah berlian. Dari tutur katanya pun terlihat kalau beliau sangat berpendidikan dan bukan orang sembarangan. Terbukti dengan bagaimana mamaku begitu menghargainya.
"Terima kasih, Umi," ulangku menyengir canggung.
"Jadi, sudah bertemu?" Mamaku setengah berbisik pada Umi penuh kerahasiaan. Umi sedikit melirik padaku lalu menarik mamaku menjauh, hingga keduanya terduduk di sofa di sudut ruangan. Sejenak keduanya tenggelam dengan pembicaraan yang begitu serius dan setengah berbisik-bisik.
Aku mengacuhkan mereka dan memfokuskan pandanganku pada gadis kecil yang begitu manis di hadapanku. Kulitnya begitu putih bersih seperti susu dengan rambut sebahu yang bagian bawahnya bergelombang alami.
"Nonton apa sayang?" tanyaku basa basi padahal tanpa melihat aku sudah bisa mengetahui kartun itu dari suara dan bahasanya.
"Upin ipin doktel."
Lucunya, masih cadel rupanya.
Gadis kecil itu lalu menggeleng-gelengkan kepala pada baby sitter yang masih mengarahkan sendok berisikan bubur di depan mulutnya.
"Ada yang masih sakit gak?" tanyaku yang langsung membuatnya mengalihkan pandangan dari TV ke arahku.
"Di sini doktel masih sakit." Jarinya menunjuk leher. "Dita gak bisa makan kalna lasana pahit semua," keluhnya.
"Itu karena tenggorokan Dita sedikit radang."
Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum. Saking gemesnya aku mengelus lembut pipinya.
"Kapan Dita bisa pulang doktel?"
"Kalau Dita sudah sembuh dan tidak ada yang sakit lagi, baru deh Dita-nya bisa pulang. Makanya Dita harus makan banyak supaya bisa cepat pulang. Kalau makannya tidak habis nanti lehernya lama sembuhnya loh," ujarku, melirik ke arah baby sitter di sampingnya agar kembali menyuapinya.
"Makan lagi yah," bujukku.
Gadis kecil itu mengangguk dan kembali menerima suapan dari baby sitter. "Kalau ini habis bisa pulang doktel?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
РазноеSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...