MELUAPKAN KESEDIHAN

35 7 0
                                    

Fadhil melongo menatapku. Bola matanya bergerak-gerak melihat botol minum dan mulutku bergantian.

Kedua alisku pun terangkat. “Kenapa? Ada obat tidurnya juga?” tanyaku polos sambil mengangkat botol tupp*rware berwarna biru miliknya ke depan mata dan mengamati isinya.

“Bukan...” ucapnya terkekeh pada akhirnya.
“Itukan bekas mulutku,”  tunjuknya ke bibir sendiri.

Mataku mengerjap-ngerjap, memahami maksudnya. Hingga ketika aku tersadar, wajahku langsung merona malu.

Apa itu artinya aku sudah ciuman tidak langsung dengannya?

Arrrggghhh .... Bodoh ... Bodoh ...!

Aku mengembalikan botol minumnya dengan menyengir malu, lalu memalingkan wajah secepatnya ke sembarang arah. Mendadak suasana menjadi canggung.

Disaat bersamaan empat sekawan yang biasa bersama Fadhil tiba-tiba bergantian mondar-mandir lewat di depan kami seperti sengaja ingin menggoda.

“Bagi dong,” teriak cowok yang rambutnya belah tengah sambil menaik turunkan alisnya menggoda Fadhil, berjalan sambil lalu melintas di depan kami.

“Ciee... ciee... so sweet,” teriak lagi cowok yang berkacamata dan bertubuh lebih subur.

Fadhil mengusap tengkuknya salah tingkah, sambil berkali-kali mengusir kawan-kawannya yang kurang kerjaan itu menggunakan sorot mata.

Tidak lama berselang, lewat lagi seorang cowok bertubuh jangkung. Seseorang yang biasa ku dengar di panggil Aco. “Dhil, bayar utang nu besok nah, itu yang nu pake beli kue di toko kemarin!” teriaknya menggunakan logat Makassar. Sukses membuat ku tertawa lepas namun membuat Fadhil langsung berlari mengejar mereka.

Keesokannya, lagi dan lagi, dari kejauhan kulihat Fadhil sudah duduk disana. Yah ... di mana lagi kalau bukan di halte depan sekolah kami. Kali ini sambil membaca buku.

“Masih di bengkel motornya?” tegurku menghampiri.

Fadhil menoleh. Menggeleng dan tersenyum, lagi-lagi senyum manis yang membuat jantungku bergemuruh dan berdetak dua kali lebih cepat.

“Kali ini dipakai sama bokap ke kantor,” jawabnya asal.

Aku menautkan kedua alisku sambil menahan senyum. Ada-ada saja alasannya!

“Kali ini bawa apa lagi?” tanyaku berharap, sambil melirik tas di pangkuannya. Sedikit tidak tahu malu sih. Tapi ini kan kebiasaannya beberapa hari belakangan ini. Jadi wajar saja kan?

“Kamu suka baca komik?” tanyanya dan aku refleks mengangguk. Kemudian Fadhil mengeluarkan buku komik Detektif Conan lima seri sekaligus dari tas berbahan kanvas berwarna navy miliknya.

Aku sedikit mengernyit memandangi komik itu.

Tunggu! tunggu dulu! Mulai dari cemilan, kue hingga komik, semua itu 'kan kesukaanku?

Jangan-jangan ....
Kak Fadhil padaku?

Aku yang bermonolog dalam hati cepat-cepat menghalau pikiran.

Jangan Ge-er! Batinku berucap, lalu menerima komik pemberiannya dengan antusias.

“Dapat darimana komiknya?” tanyaku berbasa-basi.

“Kebetulan kemarin aku ngantar adik ke toko buku. Kayaknya komiknya seru, jadi aku beli. Ternyata aku gak paham sama ceritanya. Jadi buat kamu saja. Yah, kalau kamu mau sih!”

Aku hanya mengangguk dengan bibir yang saling mengatup rapat. Di pikirnya aku bodoh apa, percaya alasannya begitu saja? pikirku, namun tak menampik luapan perasaan gembira atas perhatiannya.

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang