Kata orang hari senin itu adalah hari yang panjang. Yah, mungkin karena hari senin adalah awal kembalinya kita beraktivitas setelah libur minggu kemarin, dan kembali tenggelam dalam rutinitas pekerjaan. Begitupun dengan rutinitas di Rumah Sakit.Para pasien satu persatu berdatangan ke ruang IGD, bahkan beberapa diantaranya berasal dari rujukan rumah sakit lain. Kamar-kamar perawatan kembali full dengan pasien, membuat tenaga medis semakin bekerja ekstra. Termasuk dengan diriku saat ini.
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Namun aku masih betah terduduk dibalik meja counter nurse station sambil menatap layar monitor dengan jari-jari yang menari gesit di atas keyboard sejak pagi tadi. Melengkapi administrasi tiap pasien yang sudah ku observasi dan menunggu rujukan untuk melakukan CT-Scan. Sesekali berpindah mengisi tiap lembar kertas-kertas pemeriksaan laboratorium dan surat-surat rujukan sesuai fasilitas kesehatan sang pasien. Tak luput pula memeriksa jenis obat yang akan diberikan perawat kepada pasien yang rawat inap.
Walau sesibuk itu, aku tak mengeluh. Bahkan sedari tadi aku melakukan semuanya dengan hati yang riang dan sesekali bersenandung pelan. Mungkin ini efek dari kebahagiaan semalam yang menyelimuti dengan indahnya dalam ruang hatiku. Begitu tak sabar untuk segera naik pelaminan bersama laki-laki idamanku.
“Gak makan siang, dok?” tanya perawat yang duduk di sebelahku, menegurku yang begitu fokus pada apa yang kukerjakan.
“Tanggung. Dikit lagi,” jawabku tanpa menghentikan kegiatanku. “Kamu?”
“Tunggu gantian dengan Mirah, dok. Dia sedang membuka infus pasien di kamar Paviliun deluxe 1.”
Mendengarnya, membuatku mengernyit sesaat dan mengingat-ingat. “Bukannya itu kamar pasien kecil bernama Aldita?” tanyaku memastikan.
“Iya dok, betul. Dokter kenal?”
“Tidak juga, kebetulan gadis kecil itu cucu teman mamaku. Dia sudah sehat?”
“Alhamdulillah dok. Siang ini sudah bisa keluar.”
“Alhamdulillah,” lirih ku masih fokus menatap layar komputer. Mengabaikan para perawat di belakang yang kini sibuk membahas menu kantin siang ini.
Sejak menjalani masa residen, aku memang sudah terbiasa melakukan semuanya selama berjam-jam, bahkan kadang melewatkan jam-jam istirahat dan berakhir dengan hanya memakan sepotong roti bersama air mineral. Sebagai residen tahap awal aku merasa dituntut untuk bisa mengerjakan semuanya, dan mau tak mau harus mengerjakannya. Dengan begitu aku juga bisa belajar banyak hal selain dari spesialis yang kupilih. Terkadang karena rasa lelah yang amat sangat aku lebih memilih tidur ketimbang mengisi perut.
Aku mengangkat kedua tangan ke atas dan merenggangkan otot-otot leher serta punggung saat melihat semua daftar administrasi dan lembaran kertas sudah terselesaikan. Di sampingku hanya tersisa seorang perawat yang sedang memilah-milah obat ke dalam keranjang kecil.
Di saat bersamaan perawat bernama Mirah datang dengan sekotak Brownies pink marble dan meletakkannya tepat di depanku. "Buat dokter," katanya.
“Dari siapa?” tanyaku sembari membuka dan memotong asal dengan pisau berbahan plastik yang tersedia.
“Ibu di kamar Paviliun,” jawabnya, lalu mendudukkan tubuh di kursi sebelah kiriku dengan wajah tersenyum-senyum. “Tadi ibu itu menanyakan dokter Tenri. Tapi kubilang dokter sedang sibuk.”
Aku hanya menaikkan satu alis menanggapinya karena mulutku kini sibuk mengunyah potongan brownies tadi.
“Dokter kenal mereka?”
“Gak juga sih. Mereka kenalan mamaku," jawabku cuek.
Rani-perawat yang duduk di sisi kananku sedikit memundurkan kursinya lalu memajukan kepala mendekat ke Mirah tepat di belakang kursiku dan berbisik pelan. “Ko lama? Si daddy hot ada yah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...