Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah makan malam yang hening beberapa jam yang lalu bersama satu keluarga yang masih asing, aku memilih untuk menemani Dita di kamarnya. Gadis kecil yang begitu lucu dan menggemaskan. Yang sejak pertama kali melihatnya membuatku langsung jatuh hati padanya.
Sampai sekarang aku masih tidak percaya kalau ternyata lelaki yang tadinya berusaha kuhindari saat di rumah sakit itu ternyata akan menjadi suamiku. Suami? Bahkan untuk mengucapkan satu kata itu lidahku masih saja terasa kelu. Sama sekali tak pernah terbayangkan dalam hidupku untuk memiliki suami seorang duda beranak satu. Untuk yang satu ini aku betul-betul terkejut, tak tahu harus berkata apa lagi. Pantas saja kalau mereka semua menjebakku seperti ini.
Haruskah aku bertepuk tangan pada orang tuaku atas pilihannya ini?
Hah... Aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran mereka. Menyerahkan putri satu-satu mereka kepada laki-laki duda? Beranak satu pula? Astaga, sepertinya otak orang tuaku sudah terkontaminasi oleh kekayaan lelaki itu.
Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya dan meledakkan semua emosi saat ini juga. Tapi beruntung karena aku masih punya sopan santun kepada Umi yang sangat terlihat begitu tulus padaku, serta gadis manis tak berdosa yang tengah terduduk di depanku saat ini dan memandangku dengan tatapan mata yang berbinar-binar. Terlihat sangat mengharapkan perhatianku.
“Bunda doktel gak malah sama Dita, ‘kan?” tanya gadis kecil itu ragu-ragu setelah sekian lama hanya terdiam memandangiku sambil mengedip-ngedipkan mata.
Gadis manis itu tak bersalah, jadi tidak seharusnya aku melampiaskan amarahku padanya. Kutarik napas dalam dan segera mengenyahkan semua kegelisahan hati. Kupandangi gadis kecil itu sambil menerbitkan senyum ramah di bibir.
“Marah? Kenapa bunda harus marah sayang?” tanyaku selembut mungkin. Astaga, Gila! Baru menikah tapi aku langsung menyebut diriku bunda. Bisakah aku tertawa saat ini?
“Waktu di pesta bunda doktel gak mau lihat Dita, muka bunda kayak malah-malah gak mau senyum. Dita jadi takut. Dita mau dekat-dekat bunda tapi kata nenek gak boleh dekat-dekat dulu sama bunda.”
“Aduh, maaf sayang. Waktu itu bunda gak lihat Dita. 'Kan banyak orang sayang, jadi bunda gak bisa merhatiin satu-satu.”
Gadis kecil itu manggut-manggut tanda paham mendengar penuturanku. “Tapi Bunda doktel kenapa balu datang sekalang? Dita udah nungguin bunda, tapi bunda gak datang-datang.” Bibirnya yang mungil mengerucut, sangat lucu.
“Kan bunda banyak kerjaan di rumah sakit sayang. Banyak orang sakit yang membutuhkan bunda.”
“Bunda lebih sibuk dali papa, ya? Papa dulu juga banyak olang sakit yang cali, tapi sekalang papa istilahat dulu kata nenek.”
“Hm?” Aku mengernyitkan kening sambil menggaruk pelipis, sedikit bingung dengan maksudnya.
“Bunda doktel akan tinggal telus sama Dita, ‘kan?” tanyanya lagi tuk ke sekian kalinya sambil menyusun puzzle bergambar little pony di atas meja plastik berwarna pink yang menjadi perantara di antara kami.
Aku hanya isa tersenyum padanya sebagai jawaban. Enggan menjawabnya dengan kata-kata yang takutnya tidak sanggup kutepati.
Gadis kecil itu akhirnya tersenyum setelah melihat senyumanku. Dengan sedikit menguap dan mengucek mata, dia bangkit dari duduk dan menjatuhkan tubuh kecilnya ke atas pangkuanku.
“Dita mau bobok dengan bunda, boleh?” Wajahnya mendongak menatapku dengan penuh berharap. Tak tega rasanya menolak.
“Boleh sayang, tentu saja boleh,” jawabku semringah. Dengan begitu aku tak perlu sekamar dengan lelaki itu.
Segera kuangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongan lalu membawanya ke ranjang dan membaringkannya perlahan dengan ikut berbaring di samping gadis itu sambil memeluknya. Sementara pengasuh yang sedari tadi hanya terduduk diam mengamati interaksiku dengan Dita kini sibuk membereskan semua mainan Dita yang berhamburan.
“Ibu, biar saya yang menemani Dita. Ibu bisa kembali ke kamar.” Pengasuh itu sedikit berbisik setelah selesai membereskan seisi kamar Dita.
“Tak apa, biar aku yang menemaninya tidur mulai sekarang. Kamu bisa istirahat.”
“Tapi, Bu ...”
“Aku ingin mengakrabkan diri dengannya. Bolehkan?” ucapku beralasan.
Pengasuh itu mematung sesaat memandangiku, lalu akhirnya mengangguk patuh. Mematikan lampu utama dan hanya menyisakan satu lampu tidur yang memancarkan sedikit cahaya, kemudian pelan-pelan keluar dari kamar dan menutup pintu. Selepas pengasuh itu beranjak, kurilekskan tubuh berbaring di ranjang kecil milik Dita. Mengusap dan membelai lembut kepala hingga ke punggung gadis kecil itu dengan penuh sayang sambil memandanginya. Sedikit penasaran dengan apa yang terjadi pada ibu dari anak itu. Apa mungkin ibunya sudah tiada? Mengingat perkataan Umi yang tidak sanggup membahasnya lebih lanjut.
Pikiranku terus bermonolog jauh sambil memandangi langit-langit kamar yang temaram hingga waktu terus bergulir dan membawa kesadaranku ikut berlabuh. Sampai akhirnya sebuah usapan lembut pada lenganku menarik kesadaranku kembali.
“Eh, Umi.” tegurku begitu menangkap samar sosok wanita itu di dalam keremangan cahaya kamar. “Ada apa Umi?”
“Dita sudah tidur, Nak. Kamu bisa kembali ke kamarmu.”
“Tak apa Umi. Biar saya di sini saja menemani Dita.”
Umi menggeleng pelan. Menarik pelan kedua bahuku untuk bangun. Bodohnya, tubuhku mengikuti begitu saja.
“Tidak sayang, tempatmu bukan di sini. Kembalilah ke kamarmu. Kamarmu bersama suamimu.”
Kugelengkan kepala cepat. “Umi bisa tidak untuk malam ini, saya tidur di sini saja?”
Umi melengkungkan bibir, memperbaiki hijabku yang berantakan dan membelai lembut pipiku. “Sayang, kamu sudah menjadi seorang istri. Tempat istri adalah di sisi suaminya. Cepatlah, jangan buat suamimu menunggu.”
“Tapi Umi ...”
Jari Umi menempel di bibirku. “Tidak ada tapi-tapian. Surga seorang istri ada pada keridhoan suaminya.” Menarikku lembut agar ikut bersamanya.
Kupejamkan mata sejenak, hingga akhirnya kuikuti keinginannya dengan berat hati. Ingin marah dan mengamuk seperti biasa yang kulakukan pada mamaku, tapi ibu yang penuh kelembutan ini jelas bukan mamaku. Dan lagi, setiap sentuhannya selalu berhasil membuat hatiku menghangat. Seakan menghipnotisku untuk mengikuti keinginannya.
Dengan langkah berat dan sedikit menyeret tubuh berjalan, aku pun mengikuti Umi hingga sampai di depan sebuah pintu. Kutatap nanar pintu bercat putih itu dan Umi bergantian. Wanita yang sudah memasuki usia setengah abad itu masih berdiri dengan tenangnya mengamatiku.
Ayolah Umi, aku sudah sampai di sini. Bisakah engkau segera beranjak dan tidak menunggu sampai melihatku masuk?
“Tunggu apa lagi, Nak? Ayo masuk.” perintahnya lembut.
“Tapi, Umi ...”
“Kamu pasti lelah, cepat beristirahat. Azad mungkin sudah tidur duluan.” Kedua tangannya mendorongku mendekati pintu.
Setelah menarik napas dalam-dalam, tanganku pun meraih gagang pintu dan membukanya sembari merapalkan berbagai doa keselamatan.
Ya Tuhan ....
Kenapa rasanya seperti akan masuk ke dalam kandang singa?
Di dalam sana tampak lelaki itu terduduk selonjoran di atas ranjang sembari memainkan ponsel. Terlihat sangat santai tanpa ada beban sama sekali.
Kuayunkan langkah masuk ke dalam lalu menutup pintu. Selama beberapa saat aku hanya mematung bersandar pada daun pintu sambil menghitung dalam hati.
“Ngapain di situ?” tanyanya heran padaku.
Aku mengabaikannya dan terus berhitung dalam hati. Setelah merasa sudah cukup lama, aku kembali membuka pintu kamar dan hendak kembali ke kamar Dita.
“Loh, mau ke mana, Nak?”
“Astaga, Umi!” pekikku memegangi jantung yang dibuatnya terkejut. Kenapa ibu ini masih ada di sini? tidak mungkin 'kan dia berjaga terus sepanjang malam di depan pintu ini?
“Mau ke mana, Nak?” ulangnya.
“Oh, i-itu ... anu ....” Kugaruk kasar pelipis mencari alasan.
Umi tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah larut malam nak, beristirahatlah,” ujarnya sembari mendorongku kembali untuk masuk ke dalam kamar.
“I-iyah Umi.” Dengan piasnya aku akhirnya kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Kembali kusandarkan tubuh pada daun pintu dan menatap nanar pemandangan di depanku.
Aaarrgghhh ... Ini jebakan.
Siapa pun tolong aku ... Aku terjebak di sini!
Kujatuhkan tubuh duduk meringkuk bersandar pada pintu. Kedua tanganku terangkat mencengkeram kepala yang hampir meledak. Ingin rasanya guling-guling, mengamuk, dan meraung-raung dengan hebatnya.
Ya Tuhan, lindungi aku dari laki-laki itu! pintaku bodoh. Padahal sudah jelas kalau laki-laki itu sudah halal dan berhak melakukan apa pun padaku.
“Kamu kenapa?” Azad kembali menoleh memandangi tingkahku dengan heran.
“Gak, gak kenapa-kenapa!” jawabku datar lalu segera bangkit berdiri.
Tanpa memedulikannya, aku segera menarik kasar selimut yang berada di bawah kakinya kemudian menggelarnya di lantai yang beralaskan karpet bulu untuk tempat tidurku, sebab tak ada sofa yang bisa kujadikan tempat tidur. Entah dia sengaja atau tidak, padahal kamarnya sangat luas.
“Mau apa?” tanyanya.
“Mau mandi!” Dasar, sudah liat orang mau tidur masih lagi bertanya.
“Mau mandi di situ?” Alisnya saling menaut. Entah pura-pura bego atau memang otaknya yang tidak sampai ke sana.
“Ya, Tidurlah!” Dengan kesal kujelaskan karena tatapannya terus mengikuti pergerakanku.
“Di lantai?”
“Bukan, di atap!” ketusku, lalu kubaringkan tubuh begitu saja memunggunginya.
“Tenri ....” panggilnya.
“Kalau kamu pikir aku mau tidur di ranjang bersamamu, kamu salah besar!”
“Bukan, bukan itu.” ucapnya ragu.
“Apa? Mau memaksaku lagi? Bagaimana pun kamu membujukku aku tidak sudi naik ke ranjang bersamamu.”
“Bukan. Aku hanya mau menawarimu bantal. Tapi aku baru ingat kalau kamu mungkin sudah terbiasa tidur seperti itu. Di rumah sakit bahkan kamu bisa tidur dengan sangat lelap di lantai tanpa bantal.”
Astaga, apa katanya barusan?
Dengan kesal kuangkat tubuh bangkit berdiri dan memandanginya. “Jadi kamu betul-betul tak mau berusaha membujukku?”
“Hah? Bukannya kamu bilang ....”
“Ini salah!” pekikku lantang.
Dia tergelak menatapku, lalu mengangguk pelan. “Iya, ini memang salah!”
“Tidak seharusnya aku tidur di lantai!”
Azad langsung tersenyum ceria. “Akhirnya kamu sadar, ayo naik sini.” Tangannya menepuk-nepuk sisi kasur di sampingnya.
“Tidak! Maksudku, harusnya kita gantian. Aku kan wanita. Kamu laki-laki. Harusnya kamu yang di bawah sini.”
“Maaf, aku tidak sepertimu yang terbiasa tidur sembarangan. Tubuhku bisa pegal-pegal saat bangun esok hari. Lagi pula ini 'kan ranjangku, buat apa tidur di lantai kalau ranjang ini cukup luas?”
“Jadi kamu menyuruhku tidur di lantai?”
“Kapan aku menyuruhmu?”
“Ap-apa?” Aku tergelak sendiri. Menepuk keningku dengan frustrasi. Iya juga sih, dia kan tidak menyuruhku tidur dilantai. “Pokoknya aku tidak mau tidur bersamamu.”
“Astaga, Tenri. Aku ini suamimu, kamu istriku. Sudah sewajarnya kita tidur bersama. Apa yang kamu takutkan?”
“Ju-justru karena itu!”
“Karena apa?” tanyanya pura-pura bodoh.
“Karena kamu laki-laki!”
“Memangnya kenapa kalau aku laki-laki?”
Aku memutar bola mataku jengah. Percuma berdebat dengannya. Ujung-ujungnya aku juga yang stres. Lebih baik aku tidur di bawah saja!
“Hei, kamu belum menjelaskannya. Memang kenapa kalau aku laki-laki?” tanyanya menggodaku dengan menahan senyum.
Tanpa bicara lagi segera kuraih bantal di sampingnya dengan kasar lalu kembali tidur di lantai dengan tenang. Laki-laki itu masih terdengar mengoceh tapi aku menulikan telinga. Bahkan kututup telingaku dengan bantal agar tak lagi mendengar suaranya. Ya Tuhan ... Aku betul-betul ingin menangis!
***
Malam semakin larut. Jarum jam terus berdetak mengisi keheningan. Dan mataku sampai saat ini belum mampu terpejam. Bukan karena belum mengantuk atau tidak terbiasa tidur di lantai. Tapi karena suasana asing serta kehadiran laki-laki itu, ditambah udara dingin yang berembus kuat dari pendingin udara di kamar ini yang mungkin berada pada suhu yang paling rendah.
Dasar manusia kutub! rutukku pada lelaki yang tidur dengan begitu tenangnya di atas ranjang empuk dengan nafas yang begitu teratur. Tertidur lelap dengan setelan piama tanpa menggunakan selimut dan sama sekali tidak merasakan kedinginan sedikit pun.
Berbeda sekali dengan diriku yang sudah seperti kepompong terbungkus selimut tebal namun masih merasakan dingin yang menusuk. Kubolak-balik tubuh dengan tidak tenang sambil memaksakan diri untuk tidur walau merasakan ketidaknyamanan. Sampai akhirnya kesadaranku perlahan-lahan berlabuh setelah membayangkan wajah Fadhil.
Aku baru merasakan lelapnya tidur saat samar-samar sentuhan hangat menyentuh pipiku. Merapatkan selimut dan mendekap tubuhku. Rasanya begitu nyaman dan hangat.
Mungkinkah alam bawah sadar mendoktrin pikiranku untuk memimpikan kehadiran Fadhil? Entahlah, yang pastinya ini terasa begitu nyaman dan mataku terlalu berat untuk sekedar memastikan.
Rasa dingin yang tadinya menusuk perlahan mengurai, berganti kehangatan yang begitu nyaman dalam sebuah dekapan. Ditambah aroma wangi yang begitu menenangkan membuatku semakin merapatkan diri pada sumber kehangatan itu.
Kemudian sesuatu yang hangat kurasakan menempel di bibirku. Awalnya hanya menempel. Tapi aku menariknya dan membuat kecupan itu semakin dalam. Sesuatu yang basah dan kenyal menjelajahi isi mulutku. Menggigit dan melumat bibirku.
‘Aku mencintaimu ... Sangat-sangat mencintaimu ...' gumamku saat ciuman itu berakhir. Kupeluk erat tubuhnya dan tak ingin jauh-jauh darinya.
Sepertinya aku baru saja tertidur dengan nyamannya ketika sayup-sayup kudengar lantunan syahdu azan Subuh berkumandang.
Kubuka mata perlahan dan menggeliat. Tanganku terangkat mengusap bibir saat ingatan mimpi semalam terlintas. Tapi buru-buru terbangun saat melihat Azad sudah tak ada di ranjangnya. Bahkan ranjangnya sudah terlihat rapi.
Di mana dia?
Sedetik kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan laki-laki itu yang sudah rapi dalam balutan koko putih.
Netraku terpaku sesaat. Kuakui dia memang sangat tampan, bahkan struktur wajahnya sangat sempurna. Wajahnya yang basah karena air wudu terlihat begitu meneduhkan.
“Sudah bangun?” tanyanya sembari memakai peci di kepala.
Buru-buru kualihkan pandanganku darinya dan bergegas bangun. “Sudah tau nanya!” ketusku, menutupi kegugupan yang kurasakan sembari melewatinya begitu saja menuju kamar mandi.
Laki-laki itu berbalik mengikuti pergerakanku dan tersenyum lembut.
Astaga, bisa tidak tak usah senyum-senyum ganjen begitu?
Merusak kinerja jantungku di pagi hari saja!
“Aku mau ke mesjid depan dulu,” ucapnya, entah meminta izin, sekedar memberi tahu atau cuma berbasa-basi. “Kalau mau berjamaah bisa dengan Umi di Musala yang ada di sudut ruangan lantai ini. Tapi jika ingin Salat sendiri, mukena dan sejadah ada di dalam rak itu.” Tunjuknya ke rak di samping lemari, masih dengan senyum yang terkembang sempurna.
Kembali kuanggukkan kepala dengan canggung lalu cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi.
Ah, bisa gila aku kalau setiap harinya seperti ini!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...