Dari sorot mata Fadhil, bisa kurasakan betapa terluka hatinya dengan apa yang didengarnya barusan. Tuduhan Etta-ku jelas sangat merendahkan harga dirinya.
Fadhil terdiam sesaat, sebelum akhirnya berucap penuh sopan. “Saya minta maaf kalau sifat Tenri berubah menjadi buruk. Mungkin itu semua karena Tenri sudah begitu nyaman dengan saya. Mungkin tanpa sadar saya terlalu memanjakan dan selalu mengikuti keinginannya, hingga akhirnya Tenri tidak mampu untuk jauh dari saya dan membuatnya melawan anda. Itu semua terjadi semata-mata karena kami saling mencintai.”
“Cinta?" Ettaku mendengus, seakan mencemooh kami berdua. “Sampai kapan cinta itu bertahan? Apa kalian bisa makan dengan cinta saja?” tanyanya meremehkan kami berdua. Ralat. Meremehkan Fadhil tentunya.
Aku lantas menggeleng tak terima.
“Fadhil punya pekerjaan, saya pun begitu. Saya tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan Fadhil. Saya pikir dengan pekerjaan saya pun sebagai dokter tak akan membuat kami kelaparan ke depannya,” ucapku sesumbar dan detik berikutnya aku langsung menyesali ucapanku, tersadar kalau perkataanku barusan justru menyudutkan Fadhil dan berhasil membuat Tettaku tersenyum sinis melihatnya.“Jadi kamu mau bilang kalau kamu yang akan menanggung biaya kehidupan kalian ke depannya?” tanyanya, mengangkat kedua alis memandangku, lalu sedetik kemudian memandangi Fadhil dengan sebelah mata. “Enak sekali laki-laki ini!"
Sontak kedua mataku melotot tajam dengan nafas yang memburu menahan emosi. Tapi tidak dengan laki-laki penyabar yang duduk di sampingku. Tak ada sedikitpun kemarahan yang diperlihatkannya. Padahal aku yakin ia begitu tersinggung dan sangat-sangat terluka dengan tuduhan Tettaku.
Fadhil hanya menunduk, masih tenang di posisinya sambil beristighfar begitu lirih, nyaris tak kedengaran. Namun aku bisa mengetahui dari gerak bibirnya. Menunduk selama beberapa detik seperti berusaha menenangkan diri sambil menelan ludah beberapa kali dengan susah payah lalu mengangkat kepala, kembali memandang lurus ke arah Etta-ku.
“Saya sadar diri kalau saya berasal dari keluarga yang jauh di bawah standar anda, saya sangat menyadari kalau saya memang berbeda kasta dengannya. Tapi saya sangat mencintai anak anda, saya menyayanginya dengan tulus. Walaupun pekerjaan saya saat ini anda anggap sebelah mata dengan penghasilan yang tidak seberapa, tapi bila diberi kesempatan saya akan berusaha untuk membahagiakannya, selama nafas saya masih berembus saya akan bertanggung jawab penuh kepadanya, saya akan selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Saya memang bukan laki-laki yang sempurna, tapi saya akan berusaha menjadi yang sempurna untuknya. Saya bukan yang terbaik tapi saya akan selalu berusaha menjadi baik untuk dirinya." Fadhil berucap dengan mata yang sudah mulai berembun, tapi berusaha keras agar tidak tampak lemah.
Bibirku melengkung sempurna dengan tetesan bening yang ikut terjatuh dari sudut mata. Begitu terharu dan terkesima dengan segala perkataan Fadhil.
Ya.. Tuhan, dimana lagi aku akan mendapatkan laki-laki seperti ini? Tak bisakah Engkau membuat kami bersatu? Aku hanya ingin dia ya Allah, cukup dia untuk menyempurnakan ibadahku.
Ku tarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Etta sendiri begitu mengenal saya dengan baik. Saya adalah perempuan pembangkang, manja, dan penuh ego. Tapi Fadhil bisa bersabar dengan semua itu. Fadhil sangat mengetahui dan memahami apa yang saya sukai dan apa yang tidak saya sukai. Tanpa bertanya, Fadhil bisa merasakan apa yang saya rasakan. Kami begitu saling melengkapi, kami.....” Kujeda ucapan sesaat karena merasakan mata yang sudah memanas. Aku pun mengerjap beberapa kali untuk menghalau air mata, namun nyatanya air mataku justru berjatuhan begitu saja.
“Fadhil memang tidak pernah mensupport saya lewat materi, tapi saya sangat bangga dengannya. Selama ini Fadhil juga sudah berkorban banyak untuk saya. Terlepas dari Tetta yang membiayai kehidupan saya, Fadhil pun juga begitu banyak membantu hingga saya bisa menjadi seorang Dokter. Fadhil selalu mengutamakan apa yang terbaik untuk saya walaupun ia sendiri harus berkorban,” terangku dengan semakin menunduk dalam tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...