Gerimis-gerimis kecil yang tadinya turun dengan perlahan kian berubah menjadi hujan yang sangat deras. Cahaya kilat semakin mengerjap diikuti suara gemuruh yang semakin meledak-ledak. Seiring dengan tangisku yang semakin pecah.
Aku melajukan mobil di tengah isak tangis. Berkendara tanpa tujuan, mengitari tiap ruas jalan kota Makassar. Melewati tempat-tempat di mana biasa kuhabiskan waktu bersama Fadhil. Mengingat satu persatu kenangan bersama laki-laki itu.
Tanpa sadar, kuhentikan mobil di depan sebuah bangunan sekolah. Yah, bangunan sekolahku dan Fadhil. Tempat di mana kami bertemu pertama kali.
Kulengkungkan senyum ketika melihat halte di depan sekolah tersebut. Di mana dulunya, Fadhil mulai mendekatiku di sana saat sedang menunggu jemputan.
Kupejamkan mata, mengingat pertemuan pertama kami di sekolah itu yang masih segar dalam ingatan.
Flashback,
Siang itu sedang ada pelajaran biologi di kelasku. Semua siswi ditugaskan mencari berbagai macam jenis daun, sementara siswa laki-laki mencari serangga.
Karena sebelumnya izin ke toilet, aku tertinggal oleh teman lainnya dan merasa jengah bila harus berjalan sendiri di koridor melewati kelas dua belas, di mana biasanya kakak kelas laki-laki akan bersiul bila ada siswi yang melintas di depan kelas mereka.
Aku mendesah pelan lalu berjalan ke arah sebaliknya menuju lapangan sekolah. Seingatku, pada taman kecil di samping lapangan banyak tumbuh tanaman. Setidaknya aku bisa mengambil beberapa daun di sana.
Dengan penuh harap, aku pun berlari kecil menuju ke lapangan. Tapi ternyata di tengah lapangan ada lima orang anak laki-laki yang sedang bermain basket. Sepertinya mereka adalah kakak kelas yang kurang kerjaan, mengingat ini masih jam pelajaran sekolah. Kelimanya sempat berbalik menegurku, namun tak kuhiraukan. Lebih memilih fokus memetik dedaunan dari berbagai tanaman yang menarik. Sampai akhirnya teriakan dari salah satu diantara mereka membuatku refleks berbalik.
"AWASS!!"
BUKKK....'
Suara teriakan peringatan itu terlambat, karena bola basket mereka sudah lebih dulu mendarat sempurna dengan keras di kepalaku.
Aku terhuyung dan limbung. Jatuh terduduk di lantai beton yang sangat keras.
"Awww," ringisku kesakitan seraya melotot tajam pada salah satu di antara mereka yang kini berlari menghampiri. Seorang kakak kelas bertubuh tinggi dan atletis.
"Bolanya mana?" tanyanya tanpa merasa bersalah.
Astaga, nih cowok! Bukannya meminta maaf dan bantuin berdiri, malah lebih mencari bola sialan itu! Gerutuku seraya melototkan mata.
"Hei, bola yang tadi mana?" tanyanya lagi.
"Tau!" seruku kesal. Bangkit berdiri, menepuk rok seragam yang kotor lalu mengusap kepala yang terasa pening. "Sakit tau!"
"Salah sendiri kenapa masuk di lapangan? 'kan tadi juga sudah ditegur," ledeknya.
Aku mendengus kesal, kemudian berbalik dan membungkuk mengambil bola basket di antara sela tanaman.
Kedua tangan cowok itu terjulur hendak menerima bola. Tapi aku malah melempar bola basket tersebut sekeras mungkin menghantam kepalanya. Hingga ia langsung terjungkal ke belakang.
"Rasakan balasanku! Enak gak?" ledekku, lalu meleletkan lidah. Terdengar gelak tawa ke empat kawan-kawannya di belakang sana.
"Kamu!" wajah cowok tu memerah, entah karena malu atau karena menahan amarah.
Sebelum ia bangkit, kedua kakiku langsung berlari sekencang mungkin meninggalkannya. Tanpa kusadari ternyata buku catatan biologi yang tadi kubawa dan daun-daun yang sudah kupetik tertinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...