POV Fadhil Alfiansyah
Kata orang batas cinta tertinggi itu adalah saat kita ikhlas melepaskan orang yang kita cintai untuk bahagia.
Berkata seperti itu memang mudah, tapi saat menjalaninya sangat begitu sulit.
Disaat hati begitu terpaut dengan seseorang, disaat kamu sedang sangat sayang-sayangnya, ikhlaskah kalian melepaskannya?
Tidak. Pasti sebagian besar orang tidak akan ada yang berharap seperti itu.
Sejak awal mengenalnya, aku sudah tahu kalau dia berbeda level denganku. Karena itu awalnya aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Menyukainya dalam diam. Sebagaimana cinta remaja pada umumnya.
Keramahan, keceriaan, serta kelincahannya membuat banyak orang menyukainya. Paras cantik dan kecerdasannya menjadi satu bagian komplit dari dirinya. Membuatku diam-diam mengamatinya.
Yah, awal-awal aku hanya sebatas mengagumi semata. Sekedar mencari tahu namanya. Tempat tinggalnya. Makanan kesukaannya. Hobinya, dan lain sebagainya.
Semakin mencari tahu, semakin aku penasaran. Ingin menyapanya dan ingin mengenalnya. Tapi tak punya keberanian sama sekali.
Hingga di tahun terakhir ku di sekolah itu, seakan kesempatan diberikan padaku. Insiden bola basket membuka jalan untukku mendekatinya.
Gadis cerdas dengan segudang prestasi yang akhirnya bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter.
Aku yang hanyalah karyawan marketing di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang furniture, dengan gaji yang cukup lumayan buatku, tapi tidak untuk memenuhi permintaan keluarganya. Terpaksa mencari kerja tambahan untuk menambah-nambah modal mahar untuk sang pujaan hati. Sembari melakukan pekerjaan kantor, aku juga merangkap menjadi driver online di siang hingga sore hari. Dan pada malam harinya aku akan menjadi pelatih Tennis untuk anak-anak SMP.
Dari kerja keras itu yang tanpa kenal lelah, cukup menghasilkan tabungan yang membengkak di rekening. Nilai yang cukup fantastis untuk kalangan orang biasa sepertiku. Tapi pada kenyataannya masih jauh dari permintaan yang di ajukan sebagai syarat oleh orang tuanya. Saat itulah mataku terbuka jika dirinya terlalu jauh untuk kugapai.
Biarpun begitu, cintaku padanya selalu sukses membuatku bertahan dan kembali bersamanya walau aku sadar jika hubungan kami terus terombang-ambing.
Dan untuk kesekian kalinya, harapanku dijatuhkan kembali ke dasar. Bahkan terjatuh dengan rasa sakit yang teramat luar biasa.
Pertemuan tanpa sengaja dengan orang tua laki-laki yang biasa di panggilnya dengan sebutan Etta itu kembali menjatuhkan harga diriku. Menelanjangi segala kekuranganku.
Satu pernyataan yang lolos dari mulut Ettanya kala itu langsung membuat hatiku tiba-tiba kosong. Entah mengapa aku merasa ada yang ganjil dengan perkataannya yang tiba-tiba bersedia menikahkan kami.
Saat itu Tenri begitu terharu dengan apa yang di dengarnya. Seulas senyum bahagia terpatrit di wajah cantiknya, tapi tidak denganku. Aku masih berusaha menelaah maksud perkataan laki-laki bertubuh tambun itu ketika kemudian beliau kembali membuka mulut.
“Bersiaplah, karena pernikahanmu akan Etta lakukan secepat mungkin,” ucapnya kalau itu dengan menatap ke satu arah, yakni hanya pada putrinya.
Dan detik itupun aku langsung paham akan maksud perkataannya. Terlebih saat Tenri beranjak ke toilet dan meninggalkan kami hanya berdua.
Sorot mata orang tuanya yang tajam seakan memindaiku dengan seksama, kemudian beralih mengamati serta menelisik beberapa kantong belanjaan putrinya.
“Habis belanja?” tanyanya santai.
Dengan canggung aku mengangguk pelan. “Itu belanjaan Tenri om,” jawabku canggung.
“Semuanya?” tanyanya lagi sembari mengeja logo dari kantong dan paperbag belanjaan itu satu persatu.
“Ada beberapa untuk saya Om,” jawabku jujur.
“Tenri yang bayar?”
Aku semakin menunduk malu. Menelan ludah dengan berat dan mengangguk pelan.
“Apa kamu tahu harga skincare pacarmu itu?”
Refleks kuangkat kepala memandanginya.
“Untuk satu skincare nya saja itu harganya jutaan. Belum yang lain-lainnya. Apa kamu sanggup menyediakan semua kebutuhannya itu bila sudah bersamamu?”
Kepalaku kembali menunduk. Dadaku bergemuruh. Kedua tanganku dibawah meja saling mengepal kuat. Tak mampu menjawab pertanyaannya karena sadar diri dengan kondisiku saat ini.
“Sejauh mana hubungan kalian?”
“Apa kamu sudah pernah menyentuhnya?”
Spontan kuangkat pandangan dan menggeleng cepat. Sungguh pertanyaan itu seakan menganggapku seperti seorang laki-laki yang brengsek. Tapi seandainya ku jawab iya, akankah beliau menerimaku walau dengan terpaksa dan menikahkan ku dengan putrinya? Entahlah. Aku tak punya bayangan sedikit pun.
“Kami berpacaran yang sehat. Aku menghormati dan menghargainya sebagai seorang wanita,” ucapku pada akhirnya.
Laki-laki tambun itu manggut-manggut, terlihat puas dengan jawabanku. “Terima kasih sudah menjaga putri saya selama ini.”
Aku mengangguk pelan merespon pujiannya. “Itu sudah tanggung jawab saya sebagai orang yang menyayanginya.”
Kembali orang tua itu manggut-manggut sambil memandangiku begitu lekat. Terdiam beberapa detik sebelumnya kembali bersuara.
“Aku tahu kamu bukan orang bodoh yang tidak mengerti maksudku tadi bukan?”
Kupejamkan mataku sesaat lalu kembali mengangguk.
“Apa yang kamu tangkap?”
Ku tarik nafas panjang sesaat lalu perlahan menghembuskannya.
“Anda katakan ‘Pernikahanmu’ bukan pernikahan kalian. Itu berarti hanya Tenri yang akan menikah dan bukan saya yang anda maksud.”
“Yah, memang betul. Ternyata kamu memang cerdas memahami kata-kata. Jadi seharusnya kamu bisa cepat paham dengan maksudku itu.”
Kutelan ludah beberapa kali dengan susah payah. Lalu memberanikan diri bertanya. “Apa ada laki-laki lain untuknya?”
“Lebih tepatnya calon suami yang tepat untuknya.”
DEG
Bagai dihantam palu godam yang besar, tubuhku terasa terhempas begitu jauh. Jiwaku seakan terbang entah kemana, meninggalkan raga yang teronggok tak berdaya.
Sakit, perih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Tanpa kurasa air mata menitik di kedua sudut mataku.
“Tapi saya akan memberimu sedikit kesempatan.”
Mataku membulat. Kuangkat kembali pandangan, berfokus mendengarkan kesempatan yang dimaksudkannya.
“Kalau kamu sempat, datanglah ke kantor saya besok, atau kapanpun kamu sempat,” ucapnya sembari menyodorkan kartu namanya ke depanku. “Hubungi saya kalau kamu mau datang.”
Aku segera menarik kartu nama yang disodorkan dan membacanya sekilas.
“Saya akan mempertemukanmu dengan orang yang saya maksud. Saat itu kamu bisa menilai sendiri dia seperti apa. Mana yang lebih pantas mendampingi putri saya. Bila memang kamu menganggap dirimu lebih pantas, saya berjanji akan menikahkanmu dengan Tenri. Saya tahu kamu pasti bisa bersikap jujur dan ingin yang terbaik untuk orang yang kamu sayangi.”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...