MENGURAS EMOSI

26 4 0
                                    

Aku masih bertahan dengan aksi diam, saat mobil yang dikemudikan laki-laki itu sudah jauh meninggalkan kawasan rumah sakit.

Membuang muka ke jendela dan membungkam mulutku rapat-rapat. Sementara kedua tangan kusedekapkan memeluk tubuh. Merasa kedinginan karena Air Conditioner mobilnya yang dinginnya melebihi ruang operasi.

Heran, dia ini manusia kutub atau apa? Bisa-bisanya tahan dengan suhu dingin yang mungkin sejam lagi akan membuatku membeku.

“Dingin?” tegurnya yang mungkin mengamati gestur tubuhku.

Kalau sudah tahu kenapa tanya?

“Maaf, aku sudah terbiasa dengan suhu seperti ini,” lanjutnya tanpa merasa bersalah.

Jadi aku juga harus terbiasa, gitu?

“Kalau kamu tidak nyaman akan kunaikkan suhunya.”

“Aku tidak nyaman denganmu, jadi bisakah menurunkanku sekarang?” pintaku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.

“Gampang, dibikin nyaman saja,” jawabnya santai yang seketika memancing emosiku.

Aku menoleh sekilas, melirik sinis ke arahnya dan kembali membuang muka ke jendela. Mendengus kesal mendengar ucapannya itu. Dan dia betul-betul tak ambil pusing.

Mobil terus dilajukannya ke arah pusat kota, seperti berkeliling tak tentu arah. Entah mau membawaku ke mana. Padahal aku belum makan seharian ini, perutku sudah keroncongan.

“Kita singgah makan dulu, bagaimana?” tanyanya, seakan bisa membaca pikiranku, “Kamu pasti belum makan kan?”

Kembali ku lirik sinis dirinya. “Aku tidak lapar!" jawabku singkat dan jelas.

“Tapi aku yang lapar,” ucapnya sambil mengusap perut. “Bagusnya makan dimana?” lanjutnya lagi dengan enteng.

Ya... Meneketehe...

“Di sini tempat makan yang cozy dimana?”

Cari aja sendiri!

“Katanya Makassar itu surga kuliner. Aku biasa melihat di sosial media food bloggers yang mereview makanan di sini.”

“Apa ada yang bisa kamu rekomendasikan?”

“Kalau resto seafood yang enak itu di mana?

“Katanya ada resto yang menyediakan dua puluh lima macam sambel, itu di mana?”

Aku memutar bola mata jengah. Menulikan telinga dan enggan terpancing untuk berkomentar sedikit pun. Aku tahu dia hanya mencoba menarik perhatianku.

“Oh iya, kalau kamu suka makan apa?” tanyanya lagi untuk kesekian kalinya.

“Kalau Umi suka makan itu, mie yang digoreng garing lalu di beri kuah. Apa yah namanya? Mmm ... Yang kuahnya campuran telur, ada daging ayam, bakso, dan ampela. Makannya biasa diberi perasan jeruk dan cabe rawit yang kecil-kecil. Apa yah namanya?” pancingnya, berharap aku membuka suara.

“Aku dengar perempuan suka makan itu. Kalau kamu? Kamu juga suka? Kamu tahu yang enak di mana?” tanyanya tanpa jeda.

Heran!
Ada yah laki-laki cerewet begini?
Apa urat-urat mulutnya gak lelah?
Betul-betul tebal muka!
Sangat berkebalikan dengan sifat Fadhil yang pendiam.

Laki-laki itu masih saja terus mengoceh sepanjang jalan, gendang telingaku bahkan sudah sangat gatal mendengar suaranya. Tak tahan membuat tanganku bergerak menyalakan radio tape mobil agar suaranya bisa teredam. Mau marah, marah saja! Kalau perlu ngamuk saja sekalian!

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang