Aku masih meringkuk di kasur, menyembunyikan diri di dalam selimut tebal sambil berpura-pura tidur saat mama dan asisten rumah tangga bergantian datang memeriksa kondisiku.
Laki-laki itu? Mana kutahu. Sejak terbangun aku sudah tak melihatnya. Syukur malah, jadi aku tak perlu repot-repot menghindarinya. Yang bahkan sampai detik ini pun masih belum pernah kulihat jelas wajahnya secara keseluruhan. Ralat, tak ingin kulihat lebih tepatnya.
Kulirik jam dinding, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Cahaya dari luar jendela begitu terang benderang. Melihat tak ada lagi siapa-siapa di dalam kamar, bergegas aku bangun dan mencabut infus di tangan. Lalu beranjak hendak mengunci pintu. Sayangnya, kuncinya sudah rusak. Mungkin akibat di dobrak paksa.
Mengabaikan itu, aku lantas mengobrak-abrik kamar mencari keberadaan ponselku yang ternyata kutemukan di bawah lemari pakaian. Kuaktifkan dengan cepat lalu mengirim pesan pada Dara. Tanpa menunggu balasannya, aku segera masuk ke kamar mandi dan bersih-bersih seadanya lalu mengendap-endap keluar dari rumah melalui balkon kamar.
Walaupun letaknya di lantai dua, tapi aku bisa turun ke bawah dengan mudah berkat susunan profil bangunan yang sedikit menjorok keluar yang kujadikan pijakan kaki. Mungkin agak sedikit berbahaya, tapi aku tak punya pilihan lain.
Begitu sampai di lantai bawah, aku langsung berlari ke gerbang pagar yang menjulang tinggi.
"Non, Tenri. Mau kemana?" Seorang sekuriti penjaga keamanan rumah berlari tergopoh-gopoh menghampiri saat kudorong pagar hendak ke luar.
"Ke warung dulu, Pak," jawabku beralasan dan dengan cepat meloloskan tubuh rampingku dari pagar yang hanya mampu kubuka sedikit.
Sekuriti itu masih berteriak memanggil-manggil disusul beberapa ART yang berlari mengejar saat aku sudah naik ke atas bentor.
Dalam perjalanan di atas bentor, aku membuka satu persatu pesan-pesan dari Fadhil yang selama ini kuabaikan. Begitu banyak pesan yang menyiratkan akan kegundahannya. Bahkan di pesan-pesan terakhirnya Fadhil terang-terangan mengajakku pergi bersamanya. Tetes demi tetes buliran bening kembali menitik membaca tiap kata dari deretan pesannya. Sesal yang teramat sangat membuat hatiku tercabik-cabik.
Kenapa aku bisa begitu cuek sampai tak sempat membaca pesannya itu di saat detik-detik terakhir? Kenapa?
Jari-jariku begitu gatal ingin menekan nomornya, namun urung kulakukan karena tak ingin membuatnya semakin sedih.
Kuseka airmata dengan cepat saat bentor yang membawaku sudah sampai di depan sebuah bangunan resto siap saji.
"Ri, Sini!" teriak perempuan manis yang masih menggunakan setelan scrub begitu aku memasuki bangunan resto.
Berlari kecil aku menghampirinya. "Ra, pesankan makan dong," pintaku dengan tubuh gemetaran, sembari mendudukkan tubuh di kursi yang berhadapan dengannya.
"Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat kek mayat hidup. Suamimu ganas ya?" Dara mengamatiku dari atas ke bawah dengan saksama.
"Jangan banyak tanya. Aku belum makan tiga hari ini," jujurku sambil menyerobot minuman yang ada di hadapannya dan langsung meminumnya. Dara hanya membelalakkan mata melihatku.
"What? Tiga hari? Ck, ck, suamimu tidak memberimu makan?"
Aku tidak menjawab karena masih menyeruput minumannya seperti musafir yang baru saja datang dari gurun pasir. Dara geleng-geleng kepala lalu beranjak ke meja kasir memesan makanan.
"Biar kutebak, sekarang ini kamu pasti kabur 'kan?" tanyanya begitu kembali sambil membawa nampan berisi satu paket ayam goreng yang langsung kutarik dan kulahap.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...