Andi Tenri Bulan POV,
Aku membuka mata perlahan. Bias cahaya mentari yang bersinar terang menembus kaca jendela kamar membuatku sedikit memicingkan mata. Rupanya hari sudah beranjak siang.
Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?
Kembali kupejamkan kedua mata yang rasanya begitu berat. Rasa pening di kepalaku begitu mendominasi, ditambah suara-suara bising di sekeliling yang terdengar menyerukan namaku berulang kali.
Perlahan kubuka mata kembali. Berharap apa yang kualami beberapa saat lalu hanyalah sebuah mimpi buruk belaka. Namun kenyataan tidak seindah harapan.
Sesuatu yang tersemat di jari manis menyentakku. Ingatan tentang seorang laki-laki asing mengecup keningku tiba-tiba berkelebat, membuat tangisku kembali pecah.
“Kenapa kalian begitu jahat padaku? Kenapa?” tanyaku pada orang tua dan kerabat yang saat ini mengelilingi ranjang ku dengan raut wajah khawatir.
Kurasakan tangan mama mengusap-usap punggungku mencoba menenangkanku. Tapi emosi yang bergejolak di dada sama sekali tak bisa teredam.
“Dia bukan Fadhil Ma ... Dia bukan Fadhil,” isakku mencoba menahan sakit hati. “Aku hanya mau Fadhil, bukan dia. Bukan orang itu. Bukan orang itu Ma ....”
“Sayang, ini demi kebaikanmu. Kami melakukan ini demi masa depanmu.”
Aku menggeleng, melepas pelukan orang yang kupanggil mama selama 26 tahun ini. Mendorongnya menjauh lalu menatap tajam padanya dan beberapa orang yang melihatku dengan ekspresi yang berbeda-beda.
“Demi masa depanku atau demi nama baik kalian?” cercaku tak terima. Kini netraku beralih menatap tajam laki-laki paruh baya yang berdiri di sisi ranjang dengan ekspresi khawatir. “Apa sekarang kalian sudah bangga karena aku dibeli dengan harga yang begitu mahal?”
“PUASKAN KALIAN SEKARANG?” teriakku.
Kata-kata sindiran ku itu sepertinya berhasil membuat emosi Ettaku bangkit. Wajahnya mulai memerah dengan rahang yang mengeras dan sedikit berdenyut. Sorot matanya balik menatapku tajam. Tapi aku tak peduli, malah semakin berusaha memancing emosinya.
“Tenri, semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Begitupun dengan mama dan Ettamu, Nak.” Nenek yang duduk di tepian ranjang berusaha menasehatiku.
“Iya nak. Kami tak mungkin membuat pilihan yang buruk untukmu. Suamimu sekarang orang yang baik. Kamu hanya belum mengenalnya.”
“Semudah itukah dalam pikiran kalian?” tanyaku, menatap heran mereka semua secara bergantian. Begitu banyak pertanyaan silih berganti dalam pikiranku saat ini. Tapi lidahku begitu keluh, hingga tak lagi mampu mengucapkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Tanpa menghiraukan mereka semua, aku bangkit dari ranjang, membuka paksa segala aksesoris pengantin yang menempel di tubuhku dan melemparkannya satu persatu ke hadapan orang tuaku.
“AKU TAK MENERIMA PERNIKAHAN INI. AKU TAK MAU MENERUSKANNYA,” teriakku sembari melanjutkan membuka pakaian pengantin dari tubuhku dan hanya menyisakan dalaman berupa manset dan leging panjang berwarna abu gelap. Kemudian pakaian pengantin yang sudah teronggok di lantai itu kutendang ke sembarang arah sebagai bentuk pelampiasan kemarahan.
Kulihat wajah mamaku sudah memucat sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sangat syok melihat kelakuanku. Sementara Ettaku merah padam menahan emosi.
Laki-laki paruh baya bertubuh tambun itu mendekat, mencengkram lenganku dengan kuat. Bola matanya memerah dan semakin monyorot tajam padaku.
“Suka tidak suka. Mau tidak mau. Semuanya harus tetap berjalan sesuai rencana!” tegasnya penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...