BERTEMU KEMBALI

31 6 0
                                    

Air mata yang sedari tadi menggenang akhirnya tumpah, dadaku kembali merasa sesak karena begitu merindukan Fadhil. Ya, sangat-sangat merindukannya. Begitu berat rasanya tanpa mendengar suaranya, tanpa melihat wajahnya.

Dara menjulurkan tangannya lalu mengusap punggungku pelan. “Sudah coba tanyakan kabarnya pada empat sekawan?” tanyanya mengingatkanku pada kawan-kawan Fadhil yang selalu bersamanya sejak SMA.

“Sudah. Aku sudah bertemu Aco dan Abdi minggu lalu. Mereka hanya mengatakan jika Fadhil baik-baik saja tapi enggan memberitahukan di mana dia sekarang. Sepertinya Fadhil sudah berpesan duluan pada mereka.”

“Kalau Bayu dan Chiko?”

“Mereka sibuk belakangan ini jadi susah ditemui. Kalau pun bertemu paling mereka akan bersikap sama seperti Aco dan Abdi. Mereka berempat selalu satu suara.”

“Kenapa tidak langsung ke rumahnya saja?”

Aku refleks berbalik dan memandangi Dara. “Gila, di mana maluku kalau aku menampakkan wajah di hadapan mereka?”

“Maluku yah di Ambon!”

Ish, pato-toai ko nah!!” hardikku menggunakan dialek Makassar sambil meliriknya tajam.

Sorry, sorry ... Go on!” Dara kembali serius.

“Aku sudah tidak bisa sebebas seperti dulu ke rumahnya. Malu, Ra. Malu! Keluargaku sudah memandang rendah mereka. Mereka semua pasti sudah sangat kecewa. Aku sudah tidak berani lagi menampakkan batang hidungku di depan mereka. Ibarat kata, aku membawa mereka terbang tinggi dan langsung menghempaskannya ke dasar terendah. Aku sudah menyakiti mereka terlalu dalam. Aku tak ingin muncul ke hadapan mereka sebelum aku yakin bisa merubah keputusan keluargaku.”

“Lalu kalau sudah seperti itu mau bagaimana lagi?” Kuangkat kedua bahu sebagai jawaban. Sejenak Dara terdiam, tampak berfikir dengan serius.

"Bagaimana kalau kalian kawin lari saja?" usulnya.

Aku memutar bola mata. "Yah kali Fadhilnya mau!"

Dara mendesah kasar, kembali nampak berfikir.

“Ah ... minta dia menghamilimu saja. Kalau nasi sudah jadi bubur, pace macemu mau tidak mau akan menikahkan kalian, bukan?"

“Itu juga sudah, tapi Fadhil malah marah besar padaku.”

“Heran deh, Fadhil itu normal gak, sih? Diajak enak-enak aja gak mau. Ciuman pun katamu tak pernah. Selama tujuh tahun ini kalian ngapain aja kalau berduaan? Dia gak ada kelainan 'kan?”

“Hush, mulut itu dijaga.” Tanganku refleks menarik kedua bibir Dara yang kalau bicara tak ada filter dan rem-nya sama sekali.

“Sakit tahu, Ri!”

“Justru Fadhil itu menghormatiku sebagai seorang wanita. Dia betul-betul menjagaku. Tak mau merusakku. Laki-laki yang seperti itu yang aslinya betul-betul menyayangi wanitanya. Karena itu pula aku semakin cinta padanya. Dia berbeda dari laki-laki kebanyakan.”

“True!” Dara membenarkan statment-ku.

"Jadi sekarang mau makan di mana?” tanyaku mengubah topik pembicaraan karena mobilku kini sudah melaju tak tentu arah.

“Bakso yang didepan pantai Losari tadi saja.”

Seriously? Kita udah lewat jauh kali, Ra. Masa balik lagi? Malas ah, macet. Lagipula disana selalu ramai kalau menjelang malam begini.”

“Kalau begitu makan coto saja. Kayaknya aku pengen makan yang berkuah-kuah gitu.”

“Jeroan?”

“Sekali-kali, Ri. Kita memang dokter, tapi kita juga manusia.”

KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang