"Serius?" Kedua pupil mata gadis di depanku membulat sempurna, menunjukkan keterkejutan atas apa yang kuucapkan padanya barusan.
Aku mengangguk santai sambil mengaduk jus jeruk di depanku.
"Tanpa syarat apa-pun?" tanyanya lagi dengan raut wajah terkejut dan tak percaya.
Kembali aku mengangguk dengan sedotan yang menempel di bibir, menyedot hampir setengah dari isi gelas.
"Dan kamu tidak curiga sedikitpun?" tanyanya lagi, masih menatapku dengan intens.
"Memangnya mau curiga apa?" tanyaku balik.
"Yah, entahlah ...." Memundurkan tubuhnya bersandar pada kursi. Namun matanya masih memicing curiga. "Aku sih belum yakin kalau orang tuamu bisa semudah itu menerima Fadhil begitu saja."
"Awalnya aku juga begitu. Tapi yah, kenyataan yang terjadi memang begitu. Mungkin ini berkat doa Fadhil selama ini. Hati Etta-ku tersentuh dan akhirnya bisa menerima kami."
"Yah, semoga saja begitu," ucapnya, meneguk sisa es teh nya hingga tandas. "Aku turut bahagia untukmu," lanjutnya dengan tulus, diiringi seulas senyum cantik.
"Thank's dear," balasku, tersenyum yang tak kalah manisnya. Lalu menghabiskan seluruh isi gelas. "Habis ini mau ngapain?" tanyaku sembari bangkit berdiri dari duduk.
"Aku ada asistensi. Habis ini langsung siap-siap masuk OK. Kamu?"
"Aku mau ke ruang bangsal. Ada pasien baru yang mau ku-anamnesis," jawabku.
"Kamu pulangnya dijemput lagi?"
"Sepertinya begitu. Mobil aku titip padamu lagi, yah?" Kuserahkan kunci mobil pada Dara.
"Tapi aku tidak pulang. Aku dinas malam di IGD. Terus besok kamu naik apa kesini?"
"Gampanglah itu, nanti bisa minta jemput Fadhil."
"Ciee ... Yang udah hampir nikahan. Bikin iri aja."
"Makanya cari pasangan cepat. Atau mau nunggu sampai aku launching anak cowok?"
"Aku manggil kamu mama mertua dong."
"Ihh, amit-amit!" Kekehku geli.
"Sudah ah. Aku harus siap-siap cepat nih. Nanti dapat teguran lagi." Dara menyengir lalu berlari kecil meninggalkan ruang kantin.
Aku pun mempercepat langkah menuju ruang bangsal. Melalukan anamnesis pada beberapa pasien baru. Melakukan Vital sign, serta melakukan pemeriksaan fisik pada mereka. Setelahnya, membuat resume medis dan mengkonfirmasikan pada dokter internis yang menangani mereka.
Tanpa kusadari, waktu begitu cepat berlalu. Berlalu lalang, antara ruang satu ke ruang lainnya dalam ruang lingkup rumah sakit hingga malam kembali menjemput. Kakiku yang sudah teramat lelah kini melangkah meninggalkan poli interna menuju ruang khusus Residen, dan bersiap-siap untuk pulang.
Ting'
Bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel membuatku buru-buru membuka dan membacanya.
📩 Aku sudah di gerbang.
Refleks sudut bibirku tertarik membentuk lengkungan senyum membaca deretan kata yang begitu singkat, padat dan jelas. Ciri khas seorang Fadhil yang kaku dan tak biasa berbasa-basi.
📨Lima menit lagi.
Balasku dengan tak kalah singkatnya sambil menahan senyum.
"Tenri ..." Suara bariton berat dari arah belakang membuatku refleks berbalik.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...