Sebulan sudah berlalu sejak Fadhil memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami begitu saja, tapi sedikit pun aku masih belum bisa menerima semua ini. Hatiku sama sekali belum ikhlas. Walau Fadhil menyerah dengan segala keterpaksaan, tapi tidak denganku. Aku masih berusaha mati-matian mempertahankan hubungan kami. Bahkan berani menentang kedua orang tuaku dengan cara kabur dari rumah dan baru akan kembali bila kedua orang tua yang penuh ego itu sudah mau menerima lamaran Fadhil.
Dan saat ini aku memilih tinggal di rumah sederhana yang berada di salah satu kompleks perumahan. Rumah yang aku cicil dengan cara KPR sejak tiga tahun yang lalu secara diam-diam dari orang tuaku. Fadhil pun tak tahu menahu dengan rumah tersebut. Tadinya aku berharap akan menempati rumah itu bila sudah menikah bersama Fadhil, tapi sepertinya keinginanku itu belum bisa terwujud atau mungkin bisa dibilang hanya tinggal sebuah harapan.
Untuk sementara waktu ini aku ditemani oleh Dara, sahabat setiaku sejak masa SMA. Sahabat yang kebetulan satu profesi denganku sebagai seorang dokter.
Ya, aku adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta yang cukup elit di kota ini. Salah satu profesi yang dianggap sangat terpandang dan menjanjikan oleh sebagian besar orang, tapi juga menjadi salah satu tolak ukur yang membuat maharku begitu tinggi.
Miris memang, tapi begitulah kenyataan yang ada di daerah ku ini.
"Dok, pasien di bed lima yang baru masuk demam tinggi," ujar seorang perawat, membuyarkan lamunanku yang saat ini sedang berjaga di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD)
"Sudah cek suhu tubuhnya?" tanyaku, menengok sekilas ke arah bed lima.
"Sudah dok, 39°C."
Aku mengangguk pelan, meraih stetoskop lalu bangkit berdiri dan melangkah menghampiri bed lima.
"Halo cantik," tegurku pada pasien gadis kecil yang kutaksir baru berusia lima tahun. Kujulurkan tangan menyingkap piyamanya, menempelkan Diaphragm stetoskop pada dadanya lalu mendengarkan detak jantungnya.
"Sejak kapan demamnya bu?" tanyaku pada ibu paruh baya yang menemani gadis kecil itu.
"Sejak semalam dok. Kami baru datang dari Jakarta kemarin lusa, sepertinya dia masih mabuk perjalanan dan belum terbiasa dengan udara disini. Saya sudah beri Ibuprofen tapi demamnya tidak turun juga. Pagi tadi dia sempat muntah. Dia jadi lemas karena tidak mau makan dan minum. Jadi saya bawa kesini," terang Ibu itu sembari mengamatiku secara seksama.
Bukan! malah tatapannya begitu dalam dan sangat intens padaku. Seakan memindai keseluruhan yang ada di tubuhku.
Aku mengalihkan pandanganku dari Ibu paruh baya itu dan memusatkan pandanganku pada gadis kecil yang sekujur tubuhnya sudah terlihat bergetar nyaris kejang. Menelisik mata, lidah serta bibir gadis kecil itu yang mulai terlihat pecah-pecah.
"Sepertinya dia sudah dehidrasi."
"Sus, beri supositoria," perintahku pada perawat yang berdiri di samping kiri brankar pasien kecil itu.
"Baik dok." Perawat itu lalu meraih obat dari keranjang kecil yang dipegangnya. Obat berbentuk tabung dengan salah satu ujung yang mengerucut. Dengan bagian luar yang membungkus obat itu terbuat dari gelatin.
"Bu obat demamnya akan dimasukkan lewat duburnya," terangku dengan ramah pada Ibu itu yang masih memandangiku sampai tak berkedip sedikitpun.
"Sepertinya adek cantik ini perlu di opname dulu Bu yah, karena sudah dehidrasi," lanjutku, Ibu itu mengangguk dan akhirnya mengalihkan perhatiannya kembali kepada anak atau mungkin cucunya. Entahlah, yang pastinya menurut pengamatanku anak kecil itu lebih cocok dikatakan cucunya melihat dari usia Ibu itu yang tak lagi muda. Namun masih terlihat cantik dan begitu elegan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...