Sejak pertengkaran semalam dengannya, kami jadi saling diam. Tak ada niat sedikit pun bagiku untuk memulai pembicaraan, apalagi untuk meminta maaf. Aku tetap teguh pada pendirian. Dia yang salah dan dia yang harusnya mengerti.
Tapi tampaknya laki-laki itu juga teguh pada pendirian, sehingga dia pun bertahan mendiamiku.
Mendiamiku? Silakan saja, memangnya aku rugi apa? Justru suatu keberkahan kalau ia tak berbicara sedikit pun padaku! gumamku sambil sesekali melirik kesal ke arahnya yang fokus menyetir dengan santainya seakan aku tak ada di sampingnya.
Ya, aku kembali terjebak berduaan dengannya di dalam mobil siang ini, setelah dipaksa oleh Ettaku untuk ikut bersamanya. Mungkin orang tuaku takut aku akan kabur lagi, jadi jalan satu-satunya aku harus ikut pada laki-laki yang katanya sanggup menjaga dan menangani keras kepalaku.
Karena malas mengelak dan berdebat, dengan penuh keterpaksaan akhirnya aku ikut juga. Dan di sinilah aku, terduduk layaknya patung di sampingnya. Menemaninya yang katanya ingin mengunjungi beberapa proyek pembangunan kompleks perumahan yang sedang dikerjakannya.
"Mau ikut turun?" tanyanya saat mobil berhenti di sebuah tanah lapang di daerah Hertasning baru yang sedang ada pengerjaan penimbungan oleh beberapa alat berat.
Aku menggeleng dan melempar pandanganku ke samping jendela. Enggan bersikap ramah sedikit pun padanya.
"Baiklah, aku tidak akan lama, hanya mengecek pekerjaan mereka," ucapnya lalu turun dari mobil dan menutup pintu. Membiarkan mobil dalam keadaan mesin masih hidup.
Dari dalam mobil, aku mengamati pergerakannya yang terus berjalan hingga ke tengah tanah lapang itu. Beberapa orang berlari cepat menghampirinya dan terlihat menunduk sopan padanya. Laki-laki itu menunjuk beberapa titik dan kulihat orang-orang di sekelilingnya mengangguk patuh.
Tak dapat kupungkiri, laki-laki itu memang memiliki aura yang berbeda. Begitu tegas dan berwibawa.
Hingga detik ini aku sama sekali tidak mengetahui apa jenis pekerjaan dan bagaimana kehidupannya. Yang aku tahu dengan jelas kalau dia pastilah orang berduit dengan level kelas atas. Mengingat dia sanggup memberikanku mahar berjumlah fantastis, disertai sebuah rumah mewah dan satu unit mobil yang sampai sekarang aku sama sekali belum melihat wujud penampakannya.
Saat melihatnya berbalik kembali ke arah mobil, dengan cepat kualihkan perhatian dengan berpura-pura memainkan ponsel dan bersikap cuek dengan kedatangannya. Dia segera naik ke tempatnya di balik kemudi, melirikku sekilas kemudian kembali melajukan mobil dalam diam.
Matahari semakin naik ke posisi tertingginya, memberikan sinar terik yang cukup menyilaukan mata. Mobil dilajukannya dengan kecepatan standar membelah jalan-jalan yang cukup padat siang ini menuju lokasi berikutnya. Lokasi yang ternyata berada di kawasan Metro Tanjung Bunga. Salah satu kawasan yang terbilang cukup elite untuk sebuah kompleks hunian.
Saat mobilnya memasuki gerbang perumahan yang cukup mewah dengan deretan rumah yang masih dalam tahap penyelesaian, netraku langsung bergerak lincah menyapu semua penampakan rumah dua lantai berdesain modern itu yang pembangunannya sudah hampir 80%.
"Perumahan ini milikmu?" tanyaku penasaran, terkagum-kagum melihat deretan rumah yang berdiri kokoh lagi megah.
"Milik kita," jawabnya yang membuatku refleks menoleh memandangnya.
Aku masih tertegun menatapnya dengan mulut yang sedikit menganga saat kemudian dia menoleh dan tersenyum lembut padaku. "Semua milikku akan menjadi milikmu juga kalau kamu betul-betul menganggapku suamimu," lanjutnya lagi seolah menegaskan tentang statusku.
"Turun?" tanyanya saat mobil kini berhenti di sebuah bangunan yang tampak seperti kantor pemasaran.
Aku menggeleng pelan dan kembali membuang muka ke jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARENA MAHAR (Sudah Terbit Cetak)
RandomSebuah paradigma dan tradisi turun temurun yang mendarah daging membuat impian dan cita-cita dari sepasang anak manusia yang saling mencintai menjadi kandas. Dialah Andi Tenri Bulan dan Fadhil Alfiansyah, yang harus terpisahkan karena penghalang yan...